google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 KEPALA PENDETA BRAHMARAJA YANG BAIK (SERI 003) | Silat Naga Jawa

KEPALA PENDETA BRAHMARAJA YANG BAIK (SERI 003)



“Sekiranya engkau marah atas ucapanku dan mendendam kepadaku, aku takkan mundur setapakpun dari pertanggungan jawab. Bila, dimana dan pada saat apa pun juga, siang atau malam, Rangga Lawe siap menghadapimu!”

Seketika menggigillah tubuh patih Nambi mendengar tantangan yang langsung ditujukan kepadanya itu. Gerahamnya berderuk-deruk, wajah merah membara. Serentak ia hendak menyambut tantangan Lawe.

Tetapi baru kaki hendak diayun, suatu pertimbangan lain melintas dalam benaknya. Pertengkaran mulut apalagi perkelahian dihadapan raja, dianggap suatu perbuatan yang merendahkan derajat sang Prabu. Sebagai seorang patih, Nambi paham akan segala hukum dalam undang-undang kerajaan Majapahit.

Barangsiapa dalam kemarahan memaki-maki orang lain, memperolok-olok cacat badan, kepala, makanan, tingkah laku, kelahiran, golongan, kepandaian, pengetahuan orang lain, maka orang itu di anggap melakukan wakparusya. Dan apabila orang itu sejajar tingkat kelahiran dan kedudukan dengan orang yang dihinanya itu, maka ia akan dikenakan denda satak salawe atau uang duaratus limapuluh.

Rangga Lawe menghina dirinya, dapat dikenakan tuntutan wakparusya. Dan karena Rangga Lawe sederajat dengan dirinya, maka hukumnyapun hanya denda sebanyak satak salawe. Demikian pikir Nambi. Dan serentak bangkitlah kemarahannya. Tidak! Ia tak puas dirinya di hina habis-habisan oleh Lawe dengan hukuman denda semurah itu.

Kemanakah ia harus menyembunyikan mukanya atas cemohan yang akan di lontarkan sekalian menteri, tanda, gusti dan narapraja dalam kerajaan Majapahit. Serentak Nambi hendak berbangkit untuk menjawab tantangan Rangga Lawe. Kalau perlu ia siap membela kehormatannya dengan senjata. Darah patih yang rambutnya mulai berhias uban itu, mendidih.

Nambi memang memiliki kelebihan dalam menilai dan mengadakan pertimbangan terhadap sesuatu soal. Oleh karena sifat-sifat itulah maka ia selalu bersikap hati-hati, baik dalam ucapan maupun tindakan. Setiap langkah dan tindakan, tentu selalu dipertimbangkan akibatnya.

Sikap hati-hati itulah yang menyebabkan ia seperti orang penakut. Dan tak salahlah kiranya seorang jantan seperti Rangga Lawe yang berangasan itu menganggapnya seorang pengecut. Tetapi sesungguhnya Nambi seorang ahli pikir yang berpandangan jauh. Seorang yang lamban dan rela menderita hinaan maupun serangan.

Tetapi tak pernah terlambat untuk melakukan pembalasan. Tak pernah seorang musuh dapat lolos dari jaring cengkeramannya. Macam tangan ikan gurita yang meraih sang korban. Pelahan, lunak tetapi mematikan. Pada saat nafsu amarah hendak menguasai ruang hatinya, terbetiklah secercah gagasan, “Jika kulayani tantangan Lawe, walaupun jelas dia yang mulai dulu, tetapi akupun tentu akan terlumur kesalahan.

“Kalau kudiamkan saja, si congkak itu sendiri yang bertanggung jawab. Bukan hanya melakukan tindak wakparusya tetapi lebih dari itu. Dia tentu dianggap menghina raja. Menghina seluruh menteri, tanda, gusti, bupati, senopati yang hadir.

“Sidang agung yang dipimpin raja, merupakan kekuasaan tertinggi dalam kerajaan Majapahit. Mengacau sidang, berarti mengacau negara. Hukum bagi pengacau negara adalah mati. Demikian dengan pengangkatanku sebagai patih Amangkubumi. Menentang keputusan raja, berarti memberontak. Hukumnya ditumpas!”

Setelah memperhitungkan untung ruginya, akhirnya ia batalkan niatnya. Cepat ia menghapus kecamuk amarahnya lalu mengarahkan pandang matanya ke arah baginda, menuntut keadilan. Sekalian menteri hulubalang makin gemetar. Ngeri mereka mendengar ucapan Rangga Lawe yang makin mempamerkan kecongkakan dan keliaran.

Kebo Anabrang senopati seberang laut atau yang terkenal sebagai senopati Pamalayu, menggigil kepanasan. Tubuhnya serasa terbakar oleh api kemarahan. Namun ia masih dapat menahan diri. Ia tak mau melanggar tatasila. Danghyang Brahmaraja, kepala aliran agama Syiwa yang hadir dalam pasewakan agung itu, segera melerai.

“Angger Adipati, sukalah tuan bersabar. Ingatlah. Saat ini sedang berlangsung perapatan agung yang dipimpin oleh baginda sendiri. Apabila tuan bertindak melanggar tatasila, tuan menghina raja. Baiklah tuan renungkan akibatnya bagi para anggauta keluarga tuan........”

Beberapa pembesarpun mendukung pernyataan sang Brahmaraja. Merekapun berusaha untuk menyadarkan dan menyabarkan Rangga Lawe. Tetapi adipati Tuban itu sudah terangsang kemarahan. Ia tak puas karena pernyataannya mengenai Nambi, tidak mendapat sambutan yang layak. Bahkan Nambi yang terang-terangan dihina dan ditantangnya, pun tetap bersikap membeku. Laksana bengawan Brantas dimusim hujan, meluaplah kemarahan adipati itu. Kemarahan sering membuat pikiran orang gelap, menghanyutkan kesadaran yang jernih.

Lerai pendeta utama Brahmaraja yang mengingatkan tentang keselamatan keluarga Rangga Lawe, telah salah ditafsirkan sang Adipati. Ia anggap kepala pendeta itu memberi ancaman halus. Serentak meluaplah darah Adipati itu.

“Tuan Brahmaraja!” serunya lantang, “jika tuan mengira bahwa kedatanganku kemari ini dengan membekal angan-angan menyelamatkan jiwa Lawe dan keluargaku, tuan khilaf! Kalau hanya begitu tujuanku, mengapa aku perlu menghadap kemari? Bukankah lebih enak tinggal di kadipaten saja?

“Tetapi Rangga Lawe adalah seorang hamba kerajaan yang sadar. Bahwa pangkat dan kenikmatan hidup yang kuperoleh sekarang ini adalah berkat pengabdianku kepada perjuangan baginda.

“Darahku adalah perajurit. Jiwaku adalah jiwa perjuangan. Nafasku nafas pengabdian. Dan hidupku adalah untuk membela dan menegakkan negara Majapahit!”

Sejenak adipati itu kicupkan mata lalu berkata pula. “Rangga Lawe tak rela kalau pimpinan pemerintahan Majapahit yang dibangun di atas darah, keringat dan mayat-mayat para perajurit dan penganut Raden Wijaya harus jatuh di tangan Nambi. Dia tak pernah menyabung nyawa di medan laga. Tetapi setelah Majapahit berdiri, justeru dialah yang mendapat pangkat tinggi. Adilkah itu? Cobalah andika pikirkan. Andaikata Sora dan Lawe tak berhasil meruntuhkan pasukan Daha dan menghancurkan tentara Tartar, bukankah negara Majapahit takkan berdiri seperti saat ini? Lihatlah tuan Brahmaraja, tanda mata yang dihadiahkan tentara Tartar kepadaku ini.......” tiba-tiba Rangga Lawe melolos baju.

“Luka sebesar kepal tangan di lambungku ini, adalah tusukan tombak dari Segara Winotan, senopati Daha yang berhasil kubelah dadanya,” seru Rangga Lawe. Lalu ia berputar tubuh membelakangi pendeta Brahmaraja, “dan gurat-gurat malang melintang macam jaring ikan pada punggungku ini, adalah hadiah dari perajurit-perajurit Tartar yang berusaha menyelamatkan diri tetapi gagal menahan amukanku!”

Adipati Tuban menutup bajunya lagi lalu mengguman dengan nada kesal dan geram. “Tetapi jasa-jasa itu rupanya tak diperhatikan lagi........”

Gemetar tubuh senopati Pamalayu Kebo Anabrang saat itu. Sesaat lupalah ia akan segala pertimbangan tatasila lagi. Serentak ia menuding dan berseru lantang. “Lawe, jika engkau memang jantan, pulanglah dan siapkan segala senjatamu!”

Rangga Lawe marah sekali. Sejak tadi ia gelisah karena tak menemukan tempat untuk menumpahkan kemarahannya. Kini ada seorang yang berani menyambut tantangannya. “Plak....... ia menampar paha keras-keras dan berdiri serentak.

Ia kenal siapa Kebo Anabrang. Ditatapnya senopati Pamalayu itu dengan mata beringas. Tetapi pada saat ia hendak melontarkan kata-kata, tiba-tiba telinganya terngiang oleh bisik suara bernada halus,

“Angger Adipati, ingatlah....... jangan merendahkan kewibawaan baginda........”

Rangga Lawe tersentak. Ia tahu bahwa bisik suara selembut ngiang nyamuk itu, merupakan pancaran dari ilmu Aji Pameling. Iapun menyadari bahwa yang membisikkan Aji Pameling itu adalah kepala pendeta Brahmaraja. Dan sadar pula bahwa pendeta agung itu bermaksud baik kepadanya.

Seketika mengendaplah kemarahannya. Kesadarannyapun timbul. Tujuannya k pura Majapahit adalah untuk menggagalkan pengangkatan Nambi. Bukan untuk menghina kewibawaan baginda. Apa yang diingatkan kepala pendeta itu memang benar. Apabila hendak berkelahi, bukan di balairung situ tempatnya.

Serentak adipati Tuban itu ayunkan langkah. Ia tinggalkan balairung tanpa pamit. Dadanya sesak, tubuhnya menggigil panas. Tiba di balai bang, ia berhenti. Karena tak tahan panasnya tubuh, dibukanyalah bajunya. Ia menunggu Nambi serta Kebo Anabrang.

Sementara itu baginda masih termenung-menung. Hatinya gundah. Ia merenungkan perbuatan Rangga Lawe. Dan tersinggunglah rasa keagungannya. Segera ia hendak menitahkan supaya adipati itu ditangkap. Namun pada lain saat, teringatlah beliau akan pengabdian Lawe. Beliau kuatir, penangkapan itu akan menimbulkan akibat luas.

Keretakan sokoguru kekuatan Majapahit, perpecahan di kalangan para menteri narapraja dan kemungkinan akan meletus huru hara yang mengancam ketenteraman kerajaan. Sudah tentu adipati tua Wiraraja takkan tinggal diam apabila puteranya sampai dihukum. Dan Wiraraja itu besar sekali pengaruh dan penganutnya.

Dengan pertimbangan-angan itu, risaulah hati baginda. Namun untuk mendiamkan perbuatan Rangga Lawe, ia pun segan. Seluruh menteri, tanda, gusti dan narapraja tampak menundukkan kepala menunggu titah raja.

Raja Kertarajasa lepaskan pandang ke arah para menteri yang hadir. Akhirnya pandang baginda tertumbuk pada Lembu Sora, rakryan demang yang biasa menjadi tebat peneguk nasehat, sumber pengail pertanyaan. Seketika berserulah baginda, “Sora, bagaimana pendapatmu seandainya kubatalkan pengangkatan Nambi dan kuganti dengan Lawe?”

Ucapan baginda itu bagai petir yang meletus dalam balairung. Tampak beraneka warnalah pada wajah para menteri. Lembu Sora merah mukanya. Kebo Anabrang mengerut dahi dan Nambi pucat.

“Paduka junjungan yang hamba muliakan,” beberapa saat terdengar Lembu Sora berkata, “hamba terpaksa tak dapat menerima titah tuanku. Sekiranya hamba dipersalahkan, hamba ikhlas menyerahkan jiwa raga........”

“Apa alasanmu?” tegur raja.

“Pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi adalah atas titah paduka. Dalam hal itu paduka tentu sudah meneliti sedalam-dalamnya atas diri Nambi. Dan tentulah Nambi sudah memenuhi segala persyaratan yang berkenan pada hati paduka........”

“Tetapi Sora,” tukas baginda, “kita tak boleh menutup mata pada sanggahan yang diajukan Lawe. Dia merasa telah berjoang mati-matian demi kebangunan Majapahit. Dan kenyataan dia memang berjasa besar. Walaupun keputusan telah kuambil tetapi demi kepentingan negara, hal itu dapat kupertimbangkan lagi. Tidak ada sesuatu yang mutlak kecuali kepentingan negara!”

Rakryan demang Sora mengerut dahi. “Jika paduka membatalkan pengangkatan Nambi dan mengganti dengan Lawe, hamba tidak merelakan. Karena si Lawe tentu akan makin congkak. Hamba kuatir baginda akan dicemohkan kewibawaan paduka karena takut akan ancaman Lawe.......”

“Sora, aku hanya bertitik tolak pada kenyataan dan berlandas pada kepentingan negara. Jauh kiranya penilaianmu dengan pandanganku!”

Lembu Sora menghatur sembah. “Ampun, duhai, junjungan hamba. Mohon paduka limpahkan hukuman yang seberat-beratnya apabila kata-kata persembahan hamba itu menyentuh duli tuanku.”

“Bicaralah, Sora. Bukanlah pada setiap kesulitan aku selalu meminta pendapatmu?”

Lembu Sora tersipu-sipu mengunjuk sembah. “Jika membicarakan soal jasa, kiranya hamba tak kalah dengan Lawe. Lawe menghadap paduka dan menyanggah pengangkatan Nambi. Pada hal pengangkatan itu adalah atas titah paduka. Lawe mengatakan bahwa tindakannya itu berdasar pada rasa pengabdian dan kesetyaannya.

“Hamba Lembu Sora, Nambi, Kebo Anabrang, Pamandana, Singasardula dan sekalian menteri hulubalang yang hadir disini, pun juga memiliki rasa pengabdian dan kesetyaan seperti yang dikandung Lawe.

“Dalam pengangkatan Nambi, kami mendukung keputusan baginda. Seperti pandangan Lawe, kamipun memandang persetujuan kami atas pengangkatan Nambi itu dari sudut kepentingan negara juga.

“Lawe menghina Nambi sebagai seorang penakut dan tak cakap menjabat kedudukan Patih Amangkubumi. Sudahkah terbukti bahwa Nambi benar-benar tak cakap? Sudahkah negara dirugikan oleh tindakan-tindakan Nambi sebagai Patih Amangkubumi? Adakah paduka merasa telah turun kewibawaan karena Nambi menjadi Patih Amangkubumi?

“Bukankah tindakan dan sikap Lawe itu, benar-benar sudah berkelebihan dan merendahkan kewibawaan paduka. Ah, betapalah awam dan malu hati hamba dan sekalian menteri apabila paduka berkenan menuruti tuntutan Lawe. Tidak paduka! Lembu Sora dan seluruh menteri hulubalang Majapahit tak merelakan kewibawaan paduka diinjak-injak Lawe!”

Angin segar berhembus dihati baginda. Apa yang dinyatakan Sora itu memang benar. Apabila pengangkatan Nambi dibatalkan, rakyat tentu kecewa dan berkesan bahwa raja takut pada Rangga Lawe. Akibat yang lebih luas lagi, kemungkinan para menteri dan pejabat praja Majapahit yang sekarang ini tentu akan bimbang. Mereka tentu gelisah karena setiap saat mereka terancam dicabut pangkatnya. Apabila keadaan berlarut sampai tataran itu, kewibawaan raja tentu merosot. Kesetyaan rakyat berkurang.

“Tetapi bagaimana untuk menyelesaikan Lawe.......” diam-diam raja merasa resah. Bukan karena takut kepada Lawe melainkan karena baginda amat prihatin. Perpecahan harus dicegah, kekacauan harus dihindari.

Belum baginda mengeluarkan titah lebih lanjut, di halaman balai bang, Rangga Lawe mengamuk. Ia mengobrak-abrik taman. Jambangan-jambangan diangkat dan dibanting hancur. Tanaman bunga dicabutinya. Arca-arca penghias taman, ditendang dan dihantam porak poranda.

Nambi tak tahan lagi. Ia malu dan marah sekali melihat tingkah laku Lawe yang liar. Ia siap hendak keluar menghajarnya. Demikianpun Kebo Anabrang. Gemeretak geraham senopati Pamalayu itu karena menahan luap amarahnya. Ia cancutkan kain, siap hendak mengadu pukulan dengan Rangga Lawe.

“Jangan, kakang Anabrang. Ingatlah baginda kita. Betapa malu dan terhina baginda apabila kakang berkelahi dihadapan baginda!” tiba-tiba menteri Pamandana mencegah.

Mulut Kebo Anabrang mendesis-desis. Hidungnya berkembang kempis, napas memburu keras laksana kuda yang habis lari kencang. Namun senopati Pamalayu itu tak bergerak dari tempat duduknya. Rupanya ia dapat menerima ucapan Pamandana. Suasana tegang legang. Setiap saat dapat meletus hal-hal yang tak diinginkan. Mungkin suatu keributan besar. Kebo Anabrang dan Nambi dapat dicegah tetapi masih belum diketahui dengan lain-lain menteri.

Dalam saat-saat yang menggelisahkan itu, tiba-tiba nayaka ketentaraan Singasardula berpaling ke arah Lembu Sora. “Rakryan demang, kiranya tiada lain orang yang mampu mengatasi keadaan ini kecuali tuan. Sebagai paman tentulah tuan dapat membujuk Lawe!”

Lembu Sora menatap Singasardula dengan pandang geram. Ia tak puas karena Singasardula membawa-bawa hubungan keluarga antara dirinya dengan Rangga Lawe.

“Akan kubereskan si Lawe. Aku adalah demang kerajaan yang bertugas memberantas setiap pengacau tanpa pandang bulu!” kata Lembu Sora tajam terus melangkah keluar. Meninggalkan Pamandana yang kesima dan tak sempat memperbaiki ucapannya.

Rangga Lawe mengamuk untuk menumpahkan kemarahannya yang tidak tertampung. Ia kecewa, geram dan sakit hati. Jauh dari Tuban ia tergopoh-gopoh memacu kudanya. Dengan hati yang tulus dan semangat menyala, ia hendak mencegah pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi. Karena ia pandang tak sesuai menduduki jabatan sepenting itu.

Tetapi tiba di pura Majapahit, ia tak mendapat sambutan yang sesuai dengan keinginannya. Bahkan yang diterima hanya ucapan lantang dan sikap menantang dari para menteri narapraja. Sedang raja sendiri tetap diam. Suatu sikap yang dapat ditafsirkan sebagai penolakan. Habis menjebol tanaman bunga dan mencampakkannya, ia mengangkati jambangan-jambangan bunga dan membantingnya. Habis sudah pohon-pohon bunga dan jambangan-jambangan diamuknya.....(Bersambung)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEPALA PENDETA BRAHMARAJA YANG BAIK (SERI 003)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari