google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 SEMUA ORANG MENCABUT PEDANG (SERI 225) | Silat Naga Jawa

SEMUA ORANG MENCABUT PEDANG (SERI 225)

KLIK pada gambar untuk membesarkan


Aku sudah kehilangan banyak orang dalam hidupku. Pertama kali tentu kedua orang tuaku, lantas kedua orang tuaku lagi. Ya, tanpa pernah mengalami perasaan memiliki terhadap kedua orang tua kandungku, aku langsung merasa kehilangan ketika mengetahui keberadaannya, justru pada saat kedua orang tua asuhku yang telah kuhayati sebagai orang tua menyatakannya ketika meninggalkanku. Dua kali kehilangan terpenting hanya dalam satu hari saja bagaikan suatu penanda betapa hidupku kemudian akan mengarungi perjalanan kehilangan yang satu menuju perjalanan kehilangan lainnya.

Di dunia persilatan, tempat kematian adalah peristiwa sehari-hari, tentu kehilangan adalah sesuatu yang sangat diakrabi, tetapi perasaan kehilanganku bukanlah perasaan kehilangan karena kematian, melainkan perpisahan, baik karena kematian maupun yang lain dari kematian, dengan mereka yang menjadi bagian dari kehidupan pribadiku. Bukankah kepergian Sepasang Naga dari Celah Kledung, yang tidak harus berarti kematian, merupakan kehilangan terbesar bagiku, dibanding begitu banyak perpisahan yang disebabkan oleh kematian karena pertarungan?

Bahkan adalah kehilangan itu yang telah membuat diriku mengembara, seolah-olah dunia yang terjelajahi bisa meng­gantikannya. Namun, semakin lama dan semakin jauh aku mengembara, bukanlah aku menjadi terhindar, melainkan semakin lama semakin dalam terbenam dalam perasaan kehilangan itu, melalui pertemuanku dengan siapa pun yang melalui berbagai kejadian dan peristiwa memasuki ruang dan lapisan terdalam di dunia batinku.

Kehilangan demi kehilangan, betapapun, tidaklah menjadi kehampaan tanpa makna, karena justru makna demi makna itulah yang membuatku terus-menerus melangkah, berjalan, berpikir, melihat, mendengar, menghayati, merenung, dan berpikir lagi, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan kini sudah berapa tahunkah diriku mengembara? Ya, aku mengembara bukan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tetapi dari makna yang satu menuju makna lain, yang sebagai gumpalan makna dalam diriku pun belumlah segala sesuatunya teruraikan.

PENDEKAR BERKUDA

Kini, pada suatu titik di bumi, di sinilah aku, aku dan kudaku, berjalan sendiri, menalar dan merenung, terbayang mereka yang sempat menjadi bagian hidupku lantas dengan begitu saja lenyap ditelan bumi.

Sang Buddha berkata:
semuanya akan sampai pada akhir,
meski berlangsung semiliar tahun1

PENDEKAR PANAH WANGI

Aku harus menyeberangi sungai itu lagi, tempat aku dan Panah Wangi pernah melihat Selendang Setan melatih jurus-jurus tanpa selendang pada dini hari. Hanya selintas, tetapi keindahannya masih dapat kuingat sampai sekarang. Ini juga dini hari yang sunyi, tempat aku sebaiknya tidur dengan selimut yang hangat di sebuah penginapan, atau berdiam di dekat sebuah api unggun, tetapi perasaan kosongku sulit diajak berdamai dan memberikan suasana hati yang tidak terlalu me­nyenangkan setiap kali diriku kembali ke dalam kesendirian.

Ini memang tempat penyeberangan yang dulu, tentu di seberang yang berlawanan, tempat terdapatnya perahu-perahu penye­berangan yang semuanya bersandar di tepian, kedai, dan penginapan dengan kuda, keledai, dan unta terikat di depannya. Namun aku merasakan betapa kesunyian ini sungguh terlalu sunyi.

Kudaku melangkah pelan mendekati tempat persinggahan. Angin dingin bertiup pelan seperti memberi tempat kepada suasana itu. Terdengar dengus kuda, dan kulihat ekornya sengaja bergerak-gerak, seperti memberi tanda.

Hmm. Kuda itu tentu adalah kuda mata-mata yang terlatih. Ada sesuatu yang seperti berlangsung tidak dengan sewajarnya di sini. Semakin mendekat terasa semakin mencekam. Kesunyiannya bukanlah kesunyian yang membawa keheningan, melainkan kematian.

Lantas kulihat mayat-mayat yang bergeletakan itu. Kini kudaku yang mendengus, bahkan kemudian berhenti, seperti memintaku memeriksa mayat-mayat itu. Aku pun turun dari kuda dan mendekati. Sekali tatap tampaklah betapa tiada tanda-tanda kekerasan pada orang-orang yang malang tersebut. Mungkin mereka sedang saling bercakap-cakap dengan berhadapan dan secara berbarengan tiba-tiba tidak bernapas lagi. 

    Itulah yang kusimpulkan dari kedudukan jatuhnya mereka, bukan jatuh ke depan dan tertelungkup atau jatuh ke belakang dan terlentang, melainkan lutut mereka langsung menekuk ketika sedang bercakap-cakap dan mendadak tiada berdaya. Begitu saja nyawa itu melepaskan diri dari tubuhnya, seolah-olah tanpa penyebab apa pun jua.

Apakah yang telah terjadi? Jika manusia mati, kenapa hewan peliharaan tetap hidup?

Aku bergegas menuju kedai dan membuka pintu......Next Seri 226

___________________________________________________________________________________
1 Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h. 62.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SEMUA ORANG MENCABUT PEDANG (SERI 225)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari