google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 LOLOSNYA RONGGOLAWE (SERI 005) | Silat Naga Jawa

LOLOSNYA RONGGOLAWE (SERI 005)



Memang sejak ikut berjuang membantu Raden Wijaya sampai diangkat sebagai Adipati Tuban, Lawe sudah memisahkan diri dengan ayahnya. Dan karena sibuk dengan urusan perjuangan dan negara, ia tak sempat lagi merenungkan ajaran-ajaran yang diwejangkan ayahnya semasa ia masih belum dewasa.

Wiraraja tertawa kecil. 

“Ah, Lawe, kutahu engkau tentu terlalu sibuk dengan tugas perjuangan dan negara sehingga engkau tak ingat seluruhnya lagi. Baiklah, ayah akan menguraikan lagi ajaran-ajaran yang pernah kuresapkan dalam sanubarimu dahulu.

“Lawe, apa yang telah kubekalkan kepadamu dahulu, memang bukan harta, bukan pula ilmu jaya-kawijayan yang sakti. Melainkan serangkaian kata-kata peneguh iman, penebal keyakinan. Tujuh sifat yang wajib dimiliki oleh seorang kesatrya seperti engkau dalam pengabdianmu kepada negara........”

Adipati Wiraraja berhenti sejenak, lalu,

“Pertama ialah Mantriwira, selalu berani mempertaruhkan jiwa raga untuk membela negara.

    Kedua, Matanggwan, berusahalah untuk mendapat kepercayaan rakyat dan negara. Ketiga, Satya bakty aprabu, ialah memiliki rasa setya yang ikhlas kepada negara. Keempat, Sardjdjawopasama, bersikap rendah hati, ramah, tulus, lurus dan sabar. Kelima, Dhirotsaha, selalu bekerja dengan rajin dan sungguh-sungguh serta berhati teguh. Keenam, Widjanya, berlaku bijaksana penuh hikmat dalam menghadapi kesukaran dan kegentingan, dan Ketujuh Anayaken musuh, memusnahkan setiap musuh yang hendak mengganggu, merintangi dan membahayakan negara.......”

“Ke tujuh perilaku itulah yang kutanamkan dalam sanubarimu. Agar engkau memperoleh hasil yang gemilang dalam pengabdianmu kepada baginda Kertarajasa dan negara Majapahit. Dan ternyata harapanku tak engkau sia-siakan. Baginda telah menganugerahkan kedudukan adipati kepadamu.

“Teruskanlah pengabdianmu yang berlambar ke tujuh perilaku itu, Lawe. Kuyakin, kelak engkau tentu dapat mencapai ke tangga puncak kedudukan yang tertinggi!”

Rangga Lawe terkesiap. Ia tak mengerti mengapa ayahnya perlu menguraikan petuah-petuah lama dari beberapa tahun yang lalu, apakah hubungannya dengan tindakannya ke Majapahit itu?

“Semua ajaran ayah pasti kujunjung khidmat,” akhirnya ia memberi sekedar pernyataan.

“Tidak cukup hanya menjunjung tetapi yang penting harus melaksanakannya!”

“Baik,” kata Rangga Lawe, “sekarang harap ayah suka memberi petunjuk, bagaimanakah seyogyanya sikap dan tindakanku terhadap baginda? Rasanya baginda tentu menolak usulku.”

Wiraraja menghela napas dalam. Kiranya hanya beberapa saat ia dapat menghibur diri. Akhirnya soal yang menggelisahkan hatinya itu, tampil juga. Rangga Lawe tetap menuntut pendapatnya.

“Sesungguhnya pandanganku sudah tertuang dalam ke tujuh wejangan tadi. Ke tujuh sifat itu harus menunggal, mengejawantah dalam sebuah wadah yang merupakan pengabdian tulus ikhlas.........”

“Bukankah wejangan yang terakhir itu ialah ANAYAKEN MUSUH, tegasnya memusnakan siapa saja yang hendak merintangi dan mengganggu kewibawaan negara? Kupandang Nambi tak cakap........”

“Engkau benar, Lawe,” Wiraraja menukas dengan helaan napas pula, “tetapi tak cukup engkau hanya menitik-beratkan pada sifat yang ketujuh dan mengabaikan lain-lain sifat. Engkau melalaikan sifat yang kedua MATANGGWAN. Adakah dengan tindakanmu menentang pengangkatan Nambi itu engkau merasa akan mendapat kepercayaan rakyat?

“Dan laku yang ketiga SATYA BHAKTY APRABU, adakah dengan tindakanmu itu engkau merasa setya pada keputusan raja? Begitu pula engkau harus ingat akan laku yang keempat SARDJDJAWOPASAMA, bersikap rendah hati, ramah, tulus, lurus dan sabar. Adakah engkau merasa apa yang engkau lakukan dihadapan baginda itu sesuai dengan laku itu?

“Kemudian adakah engkau merasa bahwa segala langkah tindakanmu itu sudah sesuai dengan laku WIDJANYA ialah harus bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi kesukaran dan kegentingan?

“Ah, puteraku, cobalah engkau renungkan semasak-masaknya. Semoga para dewata memberkahi engkau pikiran-pikiran yang terang dan jernih........”

Terpukau Rangga Lawe mendengar ucapan ayahnya. Ia merasa bahwa apa yang diungkap ayahnya itu, benar-benar bagai Nurcahya yang menyinari kegelapan pikirannya. Hampir pudarlah semangatnya.

Tiba-tiba terlintas apa yang telah dilakukan di hadapan raja Majapahit. Betapa kokoh dan gigih ia memperjuangkan pendiriannya dihadapan baginda. Betapa yakin ia akan kebenaran pendiriannya itu. Dan betapa muak perasaannya terhadap Nambi. Bagai awan berhamburan dihembus angin pawana, seketika memancar pulalah percikan api yang telah di perjuangkan selama ini.

“Yah, justeru karena hendak melaksanakan laku MATANGGWAN untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Justeru karena hendak mempersembahkan SATYA BHAKTI APRABU, justeru pula untuk mengamalkan laku MANTRIWIRA dari seorang abdi negara yang benar-benar hendak membela negara maka makin mantaplah keputusanku untuk melaksanakan laku ANAYAKEN MUSUH, rawe-rawe rantas malang-malang putung........!” seru Rangga Lawe.

“Lawe........”

“Lawe putera Wiraraja haram mundur menghadapi bahaya! Haram menghalalkan yang bathil!”

“Lawe!” teriak Wiraraja, “jangan engkau lanjutkan jua keputusanmu itu. Kokohkanlah imanmu pada laku SATYA APRABU, anakku. Karena berhianat itu berat akibatnya dalam akhirat dan penitisanmu yang akan datang kelak!”

Rangga Lawe tertegun. Ia menyadari kebenaran ucapan ayahnya. Namun darahnya yang panas, cepat meledak. Ia anggap tanpa perjuangan, setiap pendirian dan keyakinan tentu takkan terlaksana.

“Ayah telah membentuk pribadi masa kanak-kanakku. Tetapi alam kedewasaanku, bermandi perjuangan. Dan kesadaran pikiranku, terbuka oleh kebesaran alam. Adalah sudah menjadi Kodrat Alam bahwa segala di dunia ini tak kekal sifatnya. Yang muda jadi tua, yang tua akan tiada. Mati merupakan kodrat Illahi yang tak dapat dihindari,” kata Lawe dengan nada penuh gelora.

“Tetapi walaupun sifatnya sama, mati itu banyak caranya. Mati di atas tempat tidur beralas lunak dan mati di medan juang yang bergenangan darah. Mati dalam rangkulan wanita cantik atau mati di ujung tombak. Mati karena takut mati, atau mati karena harus mati. Mati karena kodrat atau mati karena memperjuangkan cita.

“Ayah, dari sekian jenis cara kematian itu, putera adipati Wiraraja ini, akan memilih kematian sebagai seorang kesatrya. Karena kematian itulah kematian yang luhur dan bahagia. Kematian yang akan menjelmakan aku dalam tingkat kehidupan yang lebih baik pada penitisanku yang akan datang.......

“Yah, relakanlah puteramu menjadi tumbal negara Majapahit apabila takdir memang menghendaki begitu,” tiba-tiba Lawe menyembah, mencium kaki Wiraraja lalu mengundurkan diri.

Adipati Wiraraja menangis sedu. Rangga Lawe segera mengadakan persiapan. Ia memanggil semua menteri, akuwu, demang dan tumenggung dalam wilayah kekuasaannya. Ia menguraikan panjang lebar tentang kunjungan ke pura Majapahit dan semua peristiwa yang dialaminya mengenai pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi…….

“Mulai saat ini Tuban lepas dari kekuasaan Majapahit. Karena Majapahit dipimpin oleh seorang Patih Amangkubumi yang tidak cakap, rencah budi dan tiada berwibawa!” seru Rangga Lawe.

Kemudian ia mengakhiri pernyataan dengan nada tekanan yang tinggi melantang.

“Rangga Lawe berontak bukan karena hendak menumbangkan kekuasaan baginda Kertarajasa. Tetapi justeru hendak membela dan menegakkan kewibawaan baginda. Apabila Nambi sudah lenyap, Tuban akan bernaung kembali di bawah kekuasaan Majapahit!”

Gegap gempita sorak menggelegar di alun-alun kadipaten Tuban. Bumi seolah-olah tergetar, langit seakan-akan hendak rubuh. Seluruh menteri, akuwu, demang, tumenggung, perajurit dan segenap lapisan rakyat Tuban serempak mengucapkan ikrar, setya membela Rangga Lawe dan bumi Tuban sampai titik darah yang penghabisan.

Para pengikut Rangga Lawe yang tersebar di daerah Majapahit, demi mendengar gerakan Rangga Lawe, serentak berbondong-bondong menuju ke Tuban. Di bawah pimpinan Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Munggang dan Klabang Curing, mereka menuju ke Tuban untuk menggabungkan diri pada Lawe.

--------***--------

Lolosnya Rangga Lawe dari pura Majapahit dengan meninggalkan ancaman yang giris, menyebabkan rakyat Majapahit gentar dan gelisah. Raja Kertarajasa amat prihatin sekali atas peristiwa Adipati Tuban itu. Apalagi setelah masuk laporan bahwa Tuban telah menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, baginda makin resah.

Baginda terpaksa menitahkan diadakan rapat Balagana Ahem Apupul atau rapat tentara. Bertempat di Skandhawara Nikata atau Markas Besar kerajaan yang terletak di sebelah barat alun-alun keraton.

Biasanya rapat Balagana Ahem Apupul itu diadakan tiap tahun pada bulan Caitera (bulan Masehi: Pebruari-Maret). Maksud rapat tahunan itu ialah hendak memperteguh akhlak dan martabat para perajurit. Supaya mereka jangan melakukan kesalahan dalam menjalankan kewajiban yang dipikulkan negara maka haruslah mereka memperbaiki kesusilaan dan mentaati disiplin.

Diantara kejahatan perajurit yang hendak diberantas terutama ialah supaya jangan berkelakuan Tan Lamlama Ring Ulah, serakah tamak atau korupsi. Mencuri atau merampas pakaian orang lain atau Wastradyaharana. Lebih berat hukumnya apabila perajurit melakukan kesalahan mengambil atau merusak barang suci dari apa yang disebut Dewaswadinya atau hak milik agama.

Kesimpulan dari pada rapat tahunan itu ialah menanamkan kesadaran dan memperbaharui sumpah perajurit. Mentaati disiplin dan tidak melakukan segala yang dilarang agar dapat terpelihara dengan baik.

Tetapi sidang tentara kali itu, merupakan sidang darurat untuk membicarakan dan memutuskan sikap terhadap Adipati Tuban. Rapat memutuskan untuk mengirim pasukan ke Tuban untuk memberi penerangan dan menyadarkan Rangga Lawe agar jangan bertindak gerusa-gerusu. Baginda berkenan menerima dan memperhatikan usul Rangga Lawe.

Namun karena sudah terlanjur mengumumkan pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi, sebagai seorang raja yang harus memegang kewibawaan 'sabda pandita ratu', baginda tak mau membatalkan pengangkatan itu dan tetap akan memberi kesempatan pada Nambi. Apabila ternyata Nambi memang tak cakap, baginda tentu segera membebaskan kedudukannya, sesuai dengan tuntutan Rangga Lawe.

Namun bila Rangga Lawe ternyata berkeras tak mau tunduk pada keputusan baginda, pasukan itu diberi Purbawisesa atau wewenang untuk menindaknya. Sebagai pimpinan pasukan, telah diangkat Nambi.

Pertama, karena Nambilah yang menjadi pokok penuntutan Rangga Lawe. Kedua, agar Nambi dapat membuktikan diri bahwa dia cakap memimpin pemerintahan dan menjaga keamanan negara.

Tatkala mendengar gerakan para pengikut Rangga Lawe yang meninggalkan wilayah Majapahit menuju ke Tuban, Nambi segera melakukan pengejaran. Akhirnya dapatlah pasukan Majapahit menyusul rombongan pengikut Rangga Lawe itu ditepi sungai Tambak Beras.

Saat itu sungai Tambak Beras sedang meluap sehingga terhalanglah perjalanan rombongan pengikut Lawe itu. Mereka melawan ketika hendak dicegah pasukan Majapahit.

Terjadilah pertempuran seru yang berlangsung dari pagi sampai petang hari. Namun karena kalah besar jumlahnya dan kalah lengkap persenjataannya, akhirnya rombongan pengikut Rangga Lawe itu dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit.

Keesokan harinya, pasukan Majapahit itu menyeberang sungai Tambak Beras menuju ke Tuban. Saat itu air sudah surut hingga dengan mudah pasukan Majapahit dapat menyeberangi.

Menteri Gagarangan dan Tambak Baya yang mendapat laporan dari sandi telik atau mata-mata yang ditugaskan mengawasi gerak gerik pihak Majapahit, segera menghadap Rangga Lawe untuk memberitahukan bahwa pasukan Majapahit sudah bergerak menuju ke Tuban.

“Siapkan pasukan Tuban dan hancurkanlah orang-orang Majapahit itu!” perintah Rangga Lawe.

Setelah kedua menteri itu melakukan perintah, Rangga Lawepun segera masuk ke dalam kadipaten untuk menemui kedua orang isterinya, Mertaraga dan Tirtawati.

“Duh kakangmas Adipati, junjungan yang kami muliakan, guru laki yang kami sujuti. Apakah sebabnya maka wajah paduka semerah bara? Adakah paduka hendak menjatuhkan amarah kepada kami berdua?”

Rangga Lawe tersentuh mendengar tegur sambutan kedua isteri yang dikasihinya itu. Hampir pudarlah nyala semangat juangnya. Betapa tidak! Sudah bertahun-tahun ia hidup berkasih-kasihan dengan kedua isterinya yang cantik setya kepada guru laki. Dan sudah pula dikaruniai seorang putera kecil yang diberi nama Kuda Anjampiani. Adakah yang masih kurang padanya?

Pangkat tinggi, kedudukan mulia, harta berlimpah, isteri cantik dan putera mungil. Bukankah jarang di seluruh negara Majapahit orang yang dapat menyamai kebahagiaan hidup seperti dirinya itu?

Mengapa ia harus mempertaruhkan kenikmatan duniawi, keselamatan jiwanya, isteri dan putera yang masih kecil itu pada persoalan Nambi? Apa sangkut dirinya dengan pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi? Bukankah ia masih tetap Adipati Amancanagara yang berkuasa penuh atas wilayah Tuban dan Dataran?

Bukankah baik buruknya Nambi sebagai Patih Amangkubumi, pasang surutnya kewibawaan Majapahit, bukan ia sendiri yang harus bertanggung jawab? Segenap menteri narapraja mempunyai tanggung jawab penuh atas keselamatan dan kewibawaan kerajaan Majapahit. Bahkan baginda rajalah yang paling besar tanggung jawabnya!

Tiba-tiba pada saat-saat pikiran Rangga Lawe hampir tenggelam dalam larut pertimbangan yang berkhayal kenikmatan duniawi, telinganya terngiang pula oleh pekik sorak gegap gempita dari para menteri, akuwu, demang, tumenggung dan seluruh rakyat Tuban ketika menyambut pernyataan Rangga Lawe bahwa saat ini Tuban berdiri di atas kedaulatan sendiri. Lepas dan kekuasaan Majapahit.

Dahi Rangga Lawe makin mengeriput tandas. Peluh bercucuran deras dari kepalanya. Kemudian telinganya terngiang pula akan ikrar dari segenap narapraja dan segenap rakyat Tuban yang bersumpah setya kepadanya. Rakyat Tuban bertekad membela bumi tumpah darahnya sampai titik darah yang penghabisan!

Api semangat Adipati Tuban yang hampir saja padam terhembus bau harum semilir dan buaian pandang setajam anak panah Batara Kamajaya dari kedua isterinya, seketika menyala pula. Adipati itu tersenyum cerah.

“Diajeng Mertaraga dan Tirtawati, juwita pujaan kakang. Jangan salah paham. Buanglah keresahan hati adinda bahwa kakang datang dengan membawa nafsu kemarahan kepada kalian. Bukankah selama bertahun-tahun ini kakang tak pernah marah kepada diajeng berdua?

“Inginkah diajeng mengetahui betapa besar cinta kakang kepada dikau berdua? Cintaku kepada kalian, laksana air bengawan Tambak Beras yang tak pernah kering sepanjang masa. Eh, ingin benar kakang mendengar juga pernyataan kasihmu, diajeng Mertaraga?”

“Ah, kakang mas Adipati, mengapa paduka masih meragukan ketulusan cinta Mertaraga ini setulus persembahan seluruh milikku kepada kakangmas?”

Rangga Lawe tertawa, “Entah bagaimana, hari ini aku ingin sekali bercumbu rayu dengan diajeng berdua. Ingin kunikmati pula saat-saat bahagia dari kesyahduan malam pengantin yang bernafaskan keharuman bunga-bunga di taman Indraloka dan bersenyawakan tetesan sari madu dari cupu manik sang Kamajaya? Cobalah diajeng Mertaraga, engkau katakan lagi bisikan sukma yang engkau hembuskan dikala kita memadu kasih itu!”

Rangga Lawe, senopati yang terkenal gagah perkasa dan berangasan itu, ternyata dalam menghadapi medan perjuangan asmara, juga gagah perkasa dan tangkas seperti sang Arjuna.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LOLOSNYA RONGGOLAWE (SERI 005)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari