google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 MUNCULNYA PENGEMIS BERCAPING (SERI 73) | Silat Naga Jawa

MUNCULNYA PENGEMIS BERCAPING (SERI 73)

YAN ZI bicara tanpa putus. "Aku tidak mungkin mengikuti di belakangnya, dan bila lengah sedikit sudah pasti dia akan berkelebat menghilang. Padahal, mengikuti dari atas atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain juga sulit kalau masih terang benderang seperti tadi. Jadi, masih di lorong tempat aku mengintip, aku berbalik dan melesat ke ujung sebaliknya di utara. Kutunggu sambil mengintip ke arah barat di sebelah kiri, ternyata ia memang tampak lewat di ujung lorong dan lantas hilang lagi. Aku harus mendahuluinya di balik tembok petak yang dilaluinya. Sekali lagi aku mengikutinya dengan cara yang sama, tetapi ia tidak muncul lagi di lorong ketiga. Ia tidak mungkin menuju lorong keempat yang merupakan sudut barat laut Chang'an, karena petak di sudut itu kosong tanpa bangunan apa pun. Mungkinkah ia masuk ke kuil Muhu lain yang ada di situ, yang juga dikenal sebagai kuil para Pemuja Api? Apakah aku berjalan langsung ke barat tanpa tahu apa yang aku temukan, atau ke selatan lagi dan berbelok ke barat dan menuju ujung lorong tempat dia tadi menghilang? Bagaimana kalau ia menungguku di ujung lorong itu? Kuambil pilihan kedua tetapi kucabut pedangku, siap menghadapi segala serangan mendadak dan tersembunyi. Ternyata lorong itu sepi, aku melesat lagi dengan pedang terhunus ke gerbang petak tempat terdapatnya kuil Pemuja Api itu. Aku hanya berani mengintip dari tepi gerbang karena siapa pun di dalam kuil akan tahu jika ada seseorang menampakkan diri di depan gerbang. Saat itu kulihat kelebat terakhir rambutnya yang panjang dan kedua pedang lengkungnya yang menyilang menghilang ditelan kegelapan kuil. Mengetahui dirinya sudah masuk aku baru berani dengan cepat melewati gerbang, langsung menuju kuburan yang berada di balik kuil Buddha di seberangnya, dan setelah menyarungkan pedang mengambil hio di kuil itu lebih dahulu supaya aku bisa pura-pura mengacung-acungkannya di depan salah satu kuburan itu. Aku pilih saja salah satu kuburan terdekat, dan setelah bersikap seolah-olah memang datang untuk mengunjungi kuburan, mengacung-acungkan hio dan lantas menancapkannya, aku melirik ke kiri. Tidak ada seorang pun. Lantas melalui bagian belakang kuil Buddha aku melesat ke kuil Pemuja Api itu. Menempelkan tubuh. Sepi sekali. Terdengar gumam doa dari kuil Buddha, tetapi dari salah satu jendela kuil orang Muhu ini tetap terdengar suara orang berbicara, seperti bertengkar. Aku tidak tahu bahasanya! Seperti bahasa para pedagang Parsi di Petak I-ning 1, tetapi bagaimana memastikannya? Bahasa semua orang asing itu sepertinya sama, padahal sebetulnya banyak ragamnya! Huh! Coba aku tahu bahasanya! Mereka bertengkar cukup lama, dengan suara keras pula, sampai kudengar suara pedang dilepas dari sarungnya! Jelas Harimau Perang mengeluarkan kedua pedang sekaligus dan membabat! Pertengkaran itu langsung berhenti, kudengar suara darah menyembur dan mendesis, lantas suara tubuh yang menimpa tembok, itu pun waktu mau jatuh langsung ditendang lagi sampai menyapu lantai ke tembok seberangnya. Itu tendangan keras sekali akibat pertengkaran tadi. Bertengkar tentang apa? Terdengar suara sepakan kaki, dan terdengar suara benda menimpa tembok. Apa itu? Ah! Kedua pedang Harimau Perang itu membabat leher sampai putus! Makanya darahnya menyembur! Lantas kudengar ia memaki. Aku tidak tahu bahasanya. Tapi pasti makian. Hanya satu kata. Jadi pasti makian. Hhh! Lantas ia mengibaskan pedangnya. Kukira pedangnya langsung bersih. Darahnya pasti bercipratan. Kudengar sepakan kaki lagi. Ah! Ada yang terbang melewati jendela. Menggelinding di atas rerumputan. Kepala! Aku seperti ingin menyerang dan melumpuhkan Harimau Perang, tapi kutahu itu tak bisa kulakukan, karena kepentinganmu untuk membongkar kegelapan atas gugurnya Amrita kekasihmu harus kuutamakan. Makanya aku diam. Sepi. Lantas kudengar suara langkah. Tidak ada orang lain di kuil Muhu ini. Tentu itu suara langkahnya. Kudengar menuruni tangga kuil. Lantas sepi. Kuintip lagi. Di luar gerbang petak hanya ada tembok kota. Tentu dia sudah keluar. Aku tidak langsung keluar. Siapa tahu dia masih di situ dan melihatku. Kutunggu beberapa saat, baru aku keluar. Tidak ada orang. Hanya ada seorang pengemis bercaping. Padahal tadi tidak ada!" (bersambung) Maaf, gambar cerita menyusul kemudian.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MUNCULNYA PENGEMIS BERCAPING (SERI 73)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari