google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 MATINYA SEORANG UTUSAN (SERI 293) | Silat Naga Jawa

MATINYA SEORANG UTUSAN (SERI 293)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

"AWAS !"

Kudorong Panah Wangi dan bayangan berkelebat itu lewat tanpa bisa membabat.

"Luput!"

Panah Wangi tampak berang.

"Sebentar menyembah, sebentar menumpahkan darah, apa maumu!"
    Ia sudah siap terbang menyerang dengan pedang terhunus lurus ke depan, tetapi aku mencegahnya. Lagi pula bayangan itu sudah berkelebat mendekat. Aku tidak bergerak, setelah kuperingatkan agar Panah Wangi tidak ikut campur, karena lawan kali ini jelas bukan sembarang lawan, melainkan bayangan berkelebat. Bahkan kini bayangan itu hilang dan tinggal kelebat, yang membabat dengan sangat cepat, begitu cepat, bagaikan tiada lagi yang lebih cepat.

    Aku tetap tidak bergerak, segala pembabatan luput, karena sebetulnya aku berada dalam kecepatan tertinggi. Bahkan untuk membunuhnya bagiku kini semudah membalik tangan. Namun aku yang bertangan kosong kali ini hanyalah memberinya sodokan tinju tanpa lwe-kang, sama dengan perlakuannya kepada Panah Wangi.

    Ia terlontar ke arah reruntuhan kuil dan aku melayang untuk mengejarnya. Ia jatuh terbanting-banting untuk kemudian terguling-guling dan hanya terhenti ketika membentur tembok reruntuhan.

Waktu berusaha bangkit, aku sudah menekan dadanya dengan pedangnya sendiri.

"Pendekar Tanpa Nama! Mengapa kamu ikut campur? Panah Wangi adalah seorang buronan! Kamu adalah orang asing, tidak selayaknya terlibat urusan negeri kami!"

Aku tidak menjawab, pedang itu saja yang kutancapkan di tanah. Lantas melangkah pergi. Baru saat itulah aku bicara.

"Pendekar Panah Wangi tidak ingin bekerja untuk Pangeran Song. Kembalilah. Sampaikan itu kepadanya."

Ketika aku melangkah menjauh, Panah Wangi mendekat, tetapi saat berpapasan kugamit dirinya agar menjauh bersamaku.

"Sebaiknya kita tidak mendengarkan apa pun dari dia," kataku.

Kutahu Panah Wangi masih penasaran dengan sodokan pada perut yang sebetulnya sudah kubalaskan itu. Namun, sebagai orang yang pernah menjadi mata-mata tentara tentunya Panah Wangi juga penasaran dengan asal manusia berkerudung itu.

Rasa penasaran itulah yang membuatnya menoleh ke belakang.

"Ah!"

Panah Wangi melihat utusan Pangeran Song itu menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri!

Kami berkelebat menuju puing-puing reruntuhan kuil. Ia masih hidup, tetapi tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk membuatnya tetap hidup.

"Hati-hatilah," katanya, "Yang Mulia Putra Mahkota tidak bisa menerima penolakan..."

Dalam I Ching tertulis:

    tiada yang setara
    tanpa peningkatan;
    tiada kepergian
    tanpa (sesuatu
    yang) kembali 1


    Setelah nyawanya tampak seperti telah pergi, dengan ujung pedang kusingkapkan kerudung itu, ingin menyaksikan kejelasan wajah di balik kegelapan yang bagai tanpa batas.

"Jangan," terdengar suara di balik puing-puing reruntuhan, "itu memang tanpa batas, jika kalian terperosok tiada akan pernah bisa kembali."

    Setelah pemilik suara itu muncul, ternyata adalah seorang perempuan rahib Dao yang masih muda. Tidak terlalu jelas bagaimana ia bisa berada dan apakah yang dilakukannya. Reruntuhan kuil tersebut sudah tidak bisa digunakan sebagai kuil lagi, tetapi pengemis dan gelandangan yang tidak pernah tampak setelah tambur larangan keluar rumah ditabuh, barangkali antara lain menyuruk ke situ. Meskipun tersedia bangsal penampungan bagi mereka yang terlantar dan kehilangan tempat tinggal, bagi mereka yang merasa dirinya gelandangan sejati tentu lebih merasa sahih menemukan tempat penampungannya sendiri.

    Namun hari masih siang, para pengemis dan gelandangan masih bertebaran di seantero Chang'an mencari makan dan minum untuk hari ini. Apa yang dilakukannya di sini?

"Apakah terdapat langit di dalamnya?"

Panah Wangi bertanya setengah mencibir. Perempuan rahib Dao yang masih muda itu tersenyum bijak.

"Oh, Puan, ketahuilah betapa kerudung seperti itulah yang semestinya dikenakan seorang buronan."

    Panah Wangi tampak terkesiap, tentu ia merasa begitu sia-sia telah menyamarkan diri dan ciri sebaik-baiknya, tetapi seolah-olah setiap orang bisa mengenalinya.

"Puan telah menyamarkan wajah dengan sangat baik, sehingga tiada berlangsung kerumunan banyak orang untuk melihat wajah Puan," ujar perempuan rahib itu lagi yang seperti bisa masuk ke dalam benak Panah Wangi. "Tetapi siapakah kiranya bisa menyamarkan cahaya sukma?"

    Aku tahu apa yang dimaksudnya. Manusia juga terdiri atas tubuh dan sukma, dan bagi yang mampu melihatnya sukma ini tampak sebagai pancaran cahaya.

"Tunggu sebentar dan perhatikan," katanya lagi.

    Kemudian terdengar bunyi desis. Tubuh manusia itu meleleh untuk berubah menjadi asap, yang segera diterbangkan angin. Setelah itu busananya yang berujung kerudung seperti membakar diri, berubah menjadi api yang hanya menyisakan abu, yang juga segera diterbangkan angin.

Tinggal pedang jian, yang semula menancap pada tubuhnya, tegak tertancap kesepian di depan reruntuhan. (bersambung)

__________________________________________________________________________________
1. Dari hexagram ke-11, "Damai", sembilan dalam tempat ketiga, dalam Margaret J. Pearson, The Original I Ching (2011), h. 92 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " MATINYA SEORANG UTUSAN (SERI 293)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari