google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 TANPA NAMA DAN TANPA WAJAH (SERI 276) | Silat Naga Jawa

TANPA NAMA DAN TANPA WAJAH (SERI 276)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

KAKI Panah Wangi yang terjirat, disendal, dan ditarik dengan tenaga dalam, meluncur lurus dengan kecepatan tinggi ke arah penariknya dalam kegelapan. Betapapun Panah Wangi berpikir lebih cepat lagi. Pada setengah perjalanan yang tidak terlihat mata itu, Panah Wangi justru menambah tenaga dan kecepatan dengan meminjam daya penarikan lawan. Gabungan tenaga lawan dan tenaganya sendiri yang dilipatgandakan membuat Panah Wangi melesat sepuluh kali lebih cepat. Lawan yang semula mengendalikannya kini kehilangan kendali, dan dalam kegelapan telontar memuntahkan darah, karena tendangan Panah Wangi dengan tenaga yang juga sepuluh kali lipat telah menghajar dadanya.

Sementara Panah Wangi hinggap di atas sebuah wuwungan dalam kegelapan, lawannya melayang jatuh ke dalam api dengan teriakan yang panjang, begitu panjang, bagaikan tiada lagi yang lebih panjang. Dengan dua tangan membopong Tabib Pengganti Wajah, tentu Panah Wangi sulit bertarung menghadapi lawan yang lebih rendah ilmunya sekalipun. Namun kedatangannya telah dengan cepat tersebar di antara para pemburu hadiah maupun para petugas Dewan Peradilan Kerajaan. Para pemburu hadiah tidak terikat kewajiban memadamkan api seperti para petugas Dewan Peradilan Kerajaan, maka mereka berkelebatan sepanjang kota untuk mencari jejaknya.

Bagi pelacak jejak sejati, bahkan jejak di dalam angin pun bisa diikutinya, sehingga Panah Wangi tahu dalam kegelapan itu betapa berbagai bayangan berkelebat mengawasinya. Dalam embusan angin yang menyingkirkan asap, Panah Wangi bisa mendengar sejumlah sosok yang mengitari dan seperti mengepungnya dari suatu jarak tertentu. Mereka bisa kebetulan tiba secara bersamaan, bisa semula masing-masing datang sendiri dan sekarang bersekutu, bisa memang merupakan kelompok, dan bisa juga merupakan gabungan semua itu.

Panah Wangi diam saja di wuwungan. Ia tahu jika dirinya bergerak dan diserang, kedudukannya sangat lemah karena beban pada kedua tangannya itu. Kebetulan tidak akan datang berkali-kali, seperti jerat pada kaki yang ketika ditarik berubah menjadi tendangan tadi. Dalam kegelapan ia diam dan menunggu. Di kejauhan dalam cahaya api terlihat para bhiksu Shaolin melenting dari atap ke atap, mengejar orang-orang golongan hitam yang melarikan diri.

"Awas dari belakangmu...," ujar Tabib Pengganti Wajah dengan lemah.

Desiran halus itu kemudian juga terdengar oleh Panah Wangi. Sebuah pisau terbang!

Panah Wangi mengundurkan kepalanya sedikit. Pisau terbang itu ditangkap dengan giginya, lantas kepalanya menyentak ke samping, mengembalikan pisau itu. Suatu cara yang pernah kulihat dilakukan Elang Merah.

Pisau terbang itu meluncur kembali kepada pemiliknya.

"Uuuugghh!"

Lantas terdengar suara tubuh terguling-guling di atas genting untuk jatuh di atas bara api sisa kebakaran yang merah padam.

Kemudian tidak terdengar suara apa pun. Dikepung delapan orang tadi, Panah Wangi membunuh semuanya, termasuk memenggal kepala pemimpinnya. Setelah membawa Tabib Pengganti Wajah pada kedua tangannya, ia masih menendang penjirat kakinya sampai mati. Masih ditambah satu lagi, pelempar pisau terbang yang mati oleh senjatanya sendiri.

"Jika kami masih terus menyerang Pendekar Panah Wangi, tidak mungkinkah aku nanti menjadi korban berikutnya?"

Semua orang yang mengepung dalam kegelapan seperti mengajukan pertanyaan seperti itu kepada dirinya sendiri. Sebagai jawaban, satu demi satu mereka menghilang.

Setelah itu Panah Wangi berkelebat kembali, tetapi bukan berarti para pemburu hadiah itu sudah tidak ada lagi. Selalu saja ada yang mengenalinya ketika melenting dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain dan langsung menyerangnya, tetapi mendekati rumah aman ia segera dilindungi jaringan mata-mata tentara yang pernah berutang budi kepada Panah Wangi.

"Begitulah ceritanya sehingga Tabib Pengganti Wajah itu bisa sampai kemari," katanya.

Maka diceritakanlah bagaimana Tabib Pengganti Wajah itu bersedia mengganti wajahku yang sudah mengelupas dan hanya menyisakan tengkorak.

"Kamu katakan tadi anak muda ini tidak bernama?"

"Benar, Tabib."

"Jika memang demikian, biarlah kukembalikan wajahnya, karena tidak memiliki nama dan tidak memiliki wajah pada satu manusia kukira terlalu banyak."

Nagasena berkata:
tukang pot mengambil lempung dari bumi, dan membuat berbagai jenis bejana;

tetapi bejana ini tidak muncul karena sesuatu yang tidak ada.

hanya dari sesuatu yang ada mereka bisa ada.1 (bersambung)
________________________________________

1. Lucien Stryk, World of the Buddha [1969 (1968)], h. 102.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TANPA NAMA DAN TANPA WAJAH (SERI 276)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari