google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PENDEKAR TANPA WAJAH? (SERI 285) | Silat Naga Jawa

PENDEKAR TANPA WAJAH? (SERI 285)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    HARI-hari menjelang dibukanya selubung dari selaput wajahku membuat aku berpikir tentang wajah. Apakah yang harus menjadi masalah jika diriku tidak berwajah? Aku sudah terbiasa hidup tanpa nama, apakah tetap tanpa nama tetapi kali ini tidak berwajah pula akan membuat hidupku berubah, tepatnya berubah menjadi lebih malang?

    Bola peledak yang pembuatannya diarahkan untuk membakar dan menghanguskan itu, menurut Tabib Pengganti Wajah kepada Panah Wangi, telah membuat kulit wajahku mengelupas dan menyisakan hanya tengkorak. Aku bukan sekadar mengalami luka bakar, melainkan wajahku terkelupas. Luka bakar pada kulit akan berganti, bahkan berganti untuk kembali seperti semula, tetapi terbakar hebat sampai kulit mengelupas, mengerut, hangus menjadi arang, tentu tidak tergantikan. Sebenarnyalah hanya sekadar tengkorak wajahku kini.

    Apakah aku harus keberatan dengan itu? Aku belum sampai kepada pertanyaan yang jawabannya juga belum kuketahui itu, karena Panah Wangi dengan cepat sudah mendatangkan Tabib Pengganti Wajah untuk menanganinya, sehingga terlibat dalam perebutan Batu Naga. Namun kini aku memikirkannya.

Kubayangkan jika diriku yang berwajah tengkorak melanjutkan pengembaraan dan seseorang mencegatku di tengah jalan.

"Kamu yang berwajah tengkorak, siapakah namamu?"

"Oh, maaf, aku tidak memiliki nama."

"Orang tuamu tidak memberimu nama?"

"Aku tidak tahu, aku belum pernah bertemu dengan mereka."

"Oh, kamu seperti anak yang malang, apakah kamu merasa malang?"

"Tidak."

"Ataukah sebaliknya kamu merasa beruntung?"

"Mengapa kiranya sehingga aku harus merasa beruntung?"

"Karena barangkali kamu tidak memiliki beban nama."

"Beban nama?"

"Ya, jika namamu hebat, kamu tentu harus menyesuaikan diri dengan namamu itu bukan?"

Aku tidak menjawab. Dia terus bicara. Betapapun orang yang mencegatku itu adalah lamunanku sendiri.

"Nama itu akan memberimu beban karena kamu harus selalu menyesuaikan diri dengan namamu," katanya lagi, "Namamu akan menjadi kutukan!"


Apakah memang seperti itu? Apakah selama ini diriku memang telah terbebaskan dari beban nama dan kutukan makna? Tentu agak sulit aku mempertimbangkan hal itu karena diriku sendiri tidak mempunyai nama.

Hui Shih berkata:

    langit sama rendah dengan bumi;
    gunung-gunung setingkat dengan rawa.
    matahari siang adalah matahari menurun;
    makhluk yang lahir adalah makhluk sekarat. 1


"Namun dirimu ternyata juga tidak mempunyai wajah!"


    Aku tertegun lagi. Apakah aku mengenal wajahku? Apakah aku pernah bercermin? Di Yavabhumipala tidak banyak orang memiliki cermin, dan yang disebut cermin itu nyaris dipelihara sebagai benda mestika, sehingga tidak sembarang orang bisa menggunakannya. Cermin itu menjadi perhiasan mahal karena terletak pada piringan perak maupun perunggu. Hanya orang berada memilikinya, dan karena itu tidak semua orang bisa bercermin.

    Sekarang aku mengingat-ingat kembali wajahku dan tidak pernah berhasil. Begitu pentingkah sebuah wajah? Kalau dibandingkan dengan tangan, kaki, sikut, dengkul, dan tumit, misalnya, maka wajah adalah satu-satunya cara untuk mengenal seseorang dengan cepat, dalam arti membedakan seseorang dari seseorang yang lain, maupun dalam arti mengenali seseorang tersebut secara lebih mendalam. Dengan wajah tengkorak, tentu aku mudah dibedakan, tetapi karena tulang tengkorak tidak dapat digerakkan, maka tidak terdapat ungkapan bermakna apa pun yang dapat dibaca sebagai ungkapan perasaan maupun pikiran. Sebaliknya, wajah tengkorak itu sendiri hanya akan menandakan kengerian sebagai kemungkinan terbesar, kecuali bagi seorang penggali kuburan!

    Mengenali diriku sendiri kukira setelah terbiasa hidup menyendiri tanpa nama aku tentu harus sanggup pula hidup tanpa wajah. Sanggupkah? Hidup dalam dunia persilatan ternyata tidak hanya berarti seseorang siap untuk mati, bahkan boleh diandaikan seseorang mencari kematian dengan jalan terhormat, juga siap untuk sekadar cacat tubuh seperti kehilangan tangan, kaki, dan tentu juga wajah.

    Di antara banyak lawan yang kuhadapi, tidak sedikit yang wajahnya menunjukkan jejak-jejak pertarungan sebelumnya. Apakah itu satu atau bahkan kedua-duanya ia punya mata tercungkil, garis menyilang atau saling menyilang karena sabetan golok pada wajahnya. Nama-nama julukan para pendekar seperti Pendekar Kaki Satu, Pendekar Buntung, Pendekar Mata Satu, Pendekar Buta, Pendekar Lengan Tunggal, Pendekar Codet, dan semacamnya bisa muncul berkali-kali untuk menantangku, karena memang digunakan oleh lebih dari satu orang pada masa yang sama. Tabib Pengganti Wajah memang pekerjaannya mengubah wajah orang, terutama mata-mata yang menyamar, tetapi ia belum pernah mengganti wajah yang hilang.

Siapkah aku disebut Pendekar Tanpa Wajah? (bersambung)

_________________________________________________________________________________
1. Hui Shih (350-260 SM) adalah warga Sung, sekarang Honan, yang pernah menjadi kepala pemerintahan di bawah Raja Hui dari Wei (370-319 SM). Tulisan-tulisannya sudah lenyap, dan hanya tersisa "sepuluh pokok" dalam bab "Dunia" pada Kitab Zhuangzi. Tengok Fung Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy (1948), h. 83-5. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENDEKAR TANPA WAJAH? (SERI 285)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari