google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PUTRA MAHKOTA DIANTARA KHALAYAK (SERI 282) | Silat Naga Jawa

PUTRA MAHKOTA DIANTARA KHALAYAK (SERI 282)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

PANGERAN Song!"

    Orang-orang berteriak tertahan, tetapi mereka harus tetap menyungkum tanah. Pangeran Li Song adalah putra mahkota. Tahun 798 ini usianya 35 tahun. Duabelas tahun yang lalu, Permaisuri Wang, ibunya, meninggal dunia. Ditinggalkan ibundanya di usia 23 tahun memberikan kemuraman abadi pada wajah Pangeran Song. Ditambah dengan gerak-gerik kebangsawanan yang menjadi bagian tidak terlepaskan dari pendidikan anak-anak maharaja, Pangeran Song dikenal sebagai bangsawan yang anggun. Dengan perilakunya setiap hari yang lemah-lembut, bagaimana bisa dibayangkan Pangeran Song akan menghadapi perempuan petarung yang ganas itu dalam tatapan semua orang.

    Panglima Pertahanan Chang'an adalah orang pertama di tempat itu yang wajib melarangnya. Ia berdiri dan dengan tergopoh-gopoh mendekat serta menjura. Bahwa pangeran itu bisa hadir tanpa pengawalan saja akan merupakan masalah besar bagi panglima tersebut, apalagi jika putra mahkota sampai terluka dan dipermalukan di gelanggang. Semua orang di tempat itu sudah paham, panglima itu tidak akan lama lagi menduduki jabatannya.

"Yang Mulia Pangeran! Mohon ampun! Seharusnya sahayalah yang melayani tantangannya! Izinkan sahaya melabrak pemain gung fu itu!"
Pangeran Song hanya melambaikan tangan kanannya yang nyaris tertutup lengan jubah.

"Terlambat, Panglima, lagipula kamu bukan tandingannya..."

    Maka Pangeran Song pun menyentuh tanah dengan kakinya dan melayang seperti melangkah di udara, bagaikan terdapat tempat berpijak tiada terlihat yang bisa membuatnya berjalan setengah terbang dengan anggun menuju ke gelanggang. Pangeran Song mengenakan jubah sutra biru dengan fu tou hitam di kepalanya sambil membawa kipas meskipun tidak panas, karena kipas itu sebetulnya memang merupakan senjata.

    Pangeran Song hinggap tanpa suara pada lantai papan panggung. Perempuan pesilat yang sejak tadi belum membuka capingnya itu kini melepaskannya sehingga tergantung di punggung dan menjura.

"Ampunilah kami Yang Mulia Pangeran," katanya, "kami hanya merayakan apa yang seharusnya dirayakan pada hari ketujuh bulan ketujuh. Kami tidak membayangkan Yang Mulia Pangeran akan berada di antara pengunjung. Ampunilah!"

Pangeran Song mengangguk-angguk dengan bijak.

"Sudah semestinya ditunjukkan betapa keterampilan perempuan memang bukan hanya menjahit dan merenda, tetapi juga bermain pedang," ujarnya, ''Kini sudilah Puan memberikan kesempatan kepadaku untuk ikut merayakan."

Lantas kepada khalayak ia berkata, masih dengan suaranya yang lembut.

"Apa pun yang terjadi, tidak ada seorang pun boleh menyentuh perempuan pendekar ini. Sekarang bangkitlah, saksikan, rayakan, apa saja yang bisa dilakukan seorang perempuan dalam persilatan."

Mereka semua yang menyungkum tanah pun bangkit kembali, menyaksikan sesuatu yang tiada pernah mereka bayangkan bahkan di dalam mimpi.

Wang Ch'ung berkata:

    dalam segalanya tiada yang lebih nyata,
    daripada mempunyai hasil,
    dan dalam perdebatan tiada yang lebih menentukan,
    daripada memiliki bukti. 1


    Seperti tarian tetapi bukan tarian, seperti jurus silat tetapi mengapa sekilas-pintas tiada lebih dan tiada kurang seperti tarian? Jubah sutra biru yang berkelebat bersama segala gerak dan jurus ilmu kipas Pangeran Song itu, kadang hanya tampak sebagai bayangan biru, kadang tampak kadang tidak, kadang tampak jelas, kadang tampak tidak terlalu jelas, melibas perempuan pesilat yang seperti selalu lolos dari tipu daya kipas maut.

    Demikianlah kipas itu membuka, menutup, mengembang, dan berputar-putar mengangkat dan menyeret tubuh Pangeran Song agar terhindar dari seribu tebasan, duaribu tebasan, tigaribu tebasan pedang perempuan pesilat yang tidak memberi ruang kepada sang pangeran. Bisakah dibayangkan apa yang akan terjadi jika tubuh putra mahkota tercacah sampai ribuan? Namun tingginya ilmu silat Pangeran Song terlihat bukan dari kecepatannya, melainkan kelambatannya, selambat secabik kapas yang turun dari langit.

    Kelambatan terindah yang kasat mata dapat dilihat kawan maupun lawan, tetapi bukan kelambatan seperti yang dapat dikejar oleh yang siapa pun yang lebih cepat, karena ke dalam kelambatan inilah segenap kecepatan terhisap habis tuntas tanpa sisa. Pada saat seperti itu, siapa pun yang berada di halaman Istana Xingqing dapat menyaksikan kedua petarung itu berputar di udara dengan sangat lambat sambil mengayunkan senjata masing-masing. Khalayak terbelalak dan menantikan sesuatu yang akan menjadi akibat dari perbenturan, jika bukan ledakan mungkin pula dua petarung akan tergelimpang bersimbah darah.

Saat itulah kedua petarung gerakannya tidak bisa diikuti mata awam lagi. (bersambung)

________________________________________________________________________________
1. Wang Ch'ung (27-100) adalah pemikir aliran Naskah Tua, seorang ikonoklastik dengan semangat tinggi dalam skeptisisme ilmiah. Tengok Fung Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy (1948), h. 210. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PUTRA MAHKOTA DIANTARA KHALAYAK (SERI 282)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari