google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 JAWABAN SEBUAH TANTANGAN (SERI 281) | Silat Naga Jawa

JAWABAN SEBUAH TANTANGAN (SERI 281)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    PARA penonton di halaman Istana Xingqing terhenyak. Memang benar para perempuan pesilat itu menunjukkan ketangkasan mengagumkan, tetapi menantang laki-laki bertarung di muka umum adalah persoalan lain. Apalagi perempuan penantang itu sekarang mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati.

"Bagaimana? Tidak ada yang berani? Takut kalah?" ujarnya sambil meludah dengan maksud memberi penghinaan.

    Tentu ini membuat suasana menjadi tegang. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi. Adapun yang paling menekan adalah pandangan kaum wanita, yang melihat ke sekeliling, mencari-cari siapakah laki-laki yang berani menerima tantangan perempuan di dalam gelanggang itu.

    Panglima Pertahanan Chang'an yang sejak tadi tampak bosan, menggerakkan kepala sebagai tanda agar salah satu pengawalnya melayani tantangan tersebut. Pengawal itu pun membuka ikatan sarung kelewangnya, sambil berkata, "Akan aku layani tantanganmu Puan, tetapi biarlah kulepaskan kelewang ini dulu," katanya, ''karena jika salah mencabut sangat mungkin pula nyawa lepas tanpa kesengajaan."

Perempuan pesilat itu tertawa kecil.

"Hmmh! Apakah itu tidak terlalu merendahkan?"

    Pengawal panglima yang tinggi besar itu telah melepaskan kelewangnya yang berat, menggerak-gerakkan tubuh seperti merasa pegal, menggerak-gerakkan kepala agar tulang lehernya berbunyi, menggerak-gerakkan jari-jari kedua tangan seolah-olah sudah tiga tahun tidak pernah digerakkan, lantas mengadu-adu kedua tinjunya. Ungkapan wajahnya memang merendahkan.

Ia melangkah naik tangga gelanggang.

"Maafkanlah aku Puan jika ini menyakitkan," katanya.

    Perempuan pesilat itu menyambut kata-kata ini dengan totokan jarak jauh, sehingga di gelanggang para penonton melihat patung manusia hidup. Perempuan pesilat itu mendatanginya, mendekatkan kepalanya ke wajah orang itu. Bahkan menepuk-nepuk kepalanya.

"Apakah kiranya yang akan menyakitkan, Tuan, apa?"

    Para penonton yang semula tertegun, terhenyak, dan kebingungan, sekarang tertawa. Para putri istana bahkan tertawa sampai terkikik-kikik sambil memegangi perut, sambil saling menggamit dan menunjuk-nunjuk pengawal tinggi besar yang kini tampak sangat kocak itu, karena meskipun tubuhnya kaku-beku seperti patung, matanya masih berputar-putar, membelalak sebesar-besarnya menahan amarah tak tersalurkan.

"Coba bayangkan, sebetulnya aku bisa memenggal kepalamu yang tolol, bukan?"

Lantas secepat kilat ia mengayunkan pedang jian di punggungnya itu ke arah leher orang tersebut. Semua orang menjerit. Namun pedang itu berhenti pada jarak satu jari dari tengkuknya.

Perempuan pesilat itu akhirnya mendorong tubuh tinggi besar tersebut yang kemudian terjatuh keluar gelanggang dalam keadaan masih kaku seperti patung, dan kawan-kawannya pengawal tergopoh-gopoh membopongnya ke belakang.

"Nah, masihkah ada pengawal lain, Yang Mulia Panglima?"

Pertanyaan itu terdengar menusuk karena ditujukan langsung, tetapi juga terdengar sungguh-sungguh, dan tetap menantang.

    Panglima itu dengan kesal menggerakkan kepalanya lagi, kali ini lebih keras. Maka lima pengawal berlompatan ke gelanggang dari lima arah tanpa melepaskan pedang, bahkan ada yang mencabutnya seperti tahu betapa tingginya ilmu silat perempuan cantik yang seperti sengaja mencoreng-moreng wajahnya agar tampak tidak terlalu cantik itu. Namun belum lagi kaki kelima orang itu menginjak gelanggang, secara bersamaan tubuh mereka tersentak dan mulut mereka memuntahkan darah segar yang muncrat tinggi ke udara, tiada lebih dan tiada kurang karena angin pukulan jarak jauh yang menusuk dengan tajam.

Kelima pengawal itu terguling-guling bergelimpangan di atas tanah tanpa sempat menginjakkan kaki ke gelanggang, darah menyimbahi busana keprajuritan mereka.

"Jangan khawatir," ujar perempuan pesilat itu, ''mereka tidak akan mati, aku sedang tidak berselera membunuh hari ini. Siapa lagi yang bersedia mengujiku? Dengan segala hormat aku serasa belum lagi bertarung. Benarkah tidak ada seorang laki-laki yang akan menguji seorang perempuan pesilat, dan barangkali mengalahkannya, di seluruh Chang'an?"

    Barangkali karena tersebutkan hanya sebagai pertunjukan ketangkasan, maka peristiwa yang selalu berkembang menjadi ajang pertarungan dalam dunia persilatan itu sepi dari kehadiran para pendekar. Namun jika orang-orang dari dunia persilatan itu ada, siapakah kiranya yang cukup bernyali menghadapi perempuan pesilat yang gerakannya tiada kasat mata?

    Tidak seorang pun membuka suara. Hanya embusan angin padang yang kapankah tidak kencang ketika melewati Chang'an? Perempuan pesilat itu seperti sudah bersiap pergi dan mengakhiri hari dengan kecewa, ketika terdengar suara halus dari tengah khalayak yang semakin banyak berkerumun.

"Biarlah kusambut ajakanmu Puan, tetapi maafkanlah jika kemampuanku mengecewakan dirimu."

Semua orang menoleh ke arah suara itu. Begitu melihat wajahnya, semua orang merebahkan diri dan menyungkum tanah. (bersambung) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JAWABAN SEBUAH TANTANGAN (SERI 281)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari