google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 56 : BATU MESTIKA DAN WIBAWA NAGA (SERI 279) | Silat Naga Jawa

56 : BATU MESTIKA DAN WIBAWA NAGA (SERI 279)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

NYALA api masih berkuasa di Chang'an, tetapi dalam kegelapan itu mereka masih berbincang, sementara kilau hijau cahaya segaris rambut itu masih tetap tampak jelas tegak lurus dengan langit. Panah Wangi tahu betapa dirinya harus cepat mengambil keputusan, karena cahaya tegak lurus itu, selama hari masih gelap, akan mendatangkan lebih banyak lagi para pemburu batu mestika tersebut.

"Kukira Batu Naga ini harus bisa diperbantukan kepada siapa pun yang membutuhkannya," kata Panah Wangi. "Di kampung manakah ibu kamu menantikan batu ini?"

"Di Hangzhou, Puan...."

"Hangzhou! Jauh nian! Betapa berbakti Tuan, datang dari ujung timur negeri ini demi kesembuhan sang ibu!"

"Jiwaku pun akan kuberikan demi ibuku, Puan."

"Tentu, tetapi jika jiwa kamu melayang di tempat ini, siapa yang membawa obat ini ke Hangzhou?"

"Aku siap mengadu jiwa!"

Panah Wangi tersenyum.

"Berkorban pun harus dengan perhitungan, Tuan," ujarnya, "Sekarang baiklah kita mengaturnya agar kita bertiga tidak perlu bertarung dan hanya satu pemenang yang bisa menggunakannya."

"Bagaimanakah cara mengaturnya, Puan? Adakah cara lain selain bertarung selama kita masih mengakui hukum dunia persilatan yang kita junjung tinggi?"

Jika hari sudah lebih terang, mungkin akan tampak kekesalan pada wajah Panah Wangi ketika menjawab.

"Kita ini hidup dalam berbagai dunia, Tuan Pendekar. Jika kita membatasi hidup kita dengan hanya mengacu hukum-hukum dunia persilatan, yakni membunuh atau dibunuh, maka kita telah mengerdilkan diri kita sendiri, seperti katak di dalam tempurung. Janganlah menjadi katak duhai Pendekar!"

Betapapun kedua pendekar itu tidak punya pilihan lain selain telah menyaksikan betapa sulit Panah Wangi ditandingi. Mereka segera bersepakat bahwa Panah Wangi akan membawa batu mestika ini kepada Tabib Pengganti Wajah untuk pengobatan wajahku, setelah itu kedua pendekar akan pergi ke arah timur, berhenti di Louyang, kemudian dilanjutkan ke Hangzhou.

Semua itu tentu harus dilangsungkan dengan secepat-cepatnya, karena siapakah kiranya akan bisa memastikan bahwa tidak akan ada seorang atau beberapa atau banyak sekali pendekar tangguh yang berusaha merebutnya?

Dalam Kitab Zhuangzi Bab Jen Chien Shih disebutkan:
di seluruh dunia terdapat dua kepatuhan,

yang satu kepatuhan terhadap nasib,

yang lain kepatuhan terhadap keadilan.

Cinta anak terhadap orangtua

adalah kepatuhan terhadap nasib:

tidak mungkin bagi cinta ini untuk lepas dari hati.1

Di rumah aman jaringan mata-mata tentara kerajaan, kedua pendekar itu harus menunggu di luar rumah meskipun tetap berada di dalam petak. Panah Wangi bercerita kepadaku

"Setelah menerima Batu Naga yang dibungkus kantung kulit warna hitam, Tabib Pengganti Wajah memintaku untuk menunggu saja di luar bilik. 'Kamu datang pada saat yang tepat,' ujarnya, 'karena sebentar lagi aku sudah akan meninggalkan dunia ini.' Lantas aku pun menunggu sampai tertidur," Panah Wangi masih terus berkisah.

"Aku kira tidak terlalu lama, hari sudah siang, tetapi hujan deras, begitu lebat sehingga kedua pendekar di luar itu basah kuyup. Para pengurus rumah aman tidak dapat mengizinkan mereka masuk karena sifat rahasia rumah aman ini. Saat itulah Tabib Pengganti Wajah keluar dari bilik, wajahnya pucat dan kuyu. Ia menyerahkan kantung kulit hitam berisi Batu Naga sambil berkata, 'Mereka boleh membawa batu mestika ini. 

Ingat, hanya penyakit tidak tersembuhkan yang bisa diatasi. Desas-desus yang beredar bahwa batu ini bisa menyembuhkan segala penyakit adalah salah besar. Selama penyakitnya masih bisa diatasi oleh manusia, batu ini tidak ada gunanya."

"Maka aku membawa batu itu keluar, menyerahkannya kepada kedua kawan yang setia terhadap keluarga itu, dan menyampaikan pesan Tabib Pengganti Wajah tersebut. Aku sungguh bersyukur keduanya bukan datang karena cita-cita dunia persilatan untuk meraih wibawa naga. Kepada pendekar yang datang dari Hangzhou kuberi pesan bahwa setelah ibunya tersembuhkan, Batu Naga itu harus juga berguna bagi orang-orang sakit tak tersembuhkan yang membutuhkannya.

"Kupandang mereka berdua pergi dalam hujan lebat yang telah berjasa pula memadamkan sisa-sisa kebakaran, sampai lenyap di balik pintu gerbang petak. Setelah itu aku kembali masuk ke dalam rumah, dan ternyata Tabib Pengganti Wajah sudah menelungkup di atas meja tanpa nyawa lagi." (bersambung)
________________________________________

1 Fung Yu-lan, The Spirit oleh Chinese Philosophy, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh E. R., Hughes (1947), h. 142

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "56 : BATU MESTIKA DAN WIBAWA NAGA (SERI 279)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari