google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 WAJAH SEORANG PENDEKAR (SERI 287) | Silat Naga Jawa

WAJAH SEORANG PENDEKAR (SERI 287)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    SEPERTI apakah wajahku yang sebenarnya? Kehidupan sebagai pengembara yang bebas merdeka dan tidak terikat kepada segala macam upacara membuatku tidak merasa perlu memperhatikan kepantasan cara berbusana, dan begitu pula tidak merasa terlalu perlu memperhatikan wajahku sendiri, sehingga aku memang tidak pernah melihat cermin. Lagi pula dalam dunia persilatan, satu-satunya ukuran ada dan tiada adalah keberadaan ilmu silatnya. Tidak peduli betapapun tampan dan cantiknya seorang penyoren pedang, betapapun mewah busananya dan betapapun mahal kuda atau senjatanya, tiadalah artinya jika ilmu silatnya rendah dan mudah jadi permainan lawan.

    Bahkan agar tidak menjadi perhatian di dunia awam, seperti kulakukan bersama Amrita, kami seperti meleburkan diri ke dalam berbagai kelompok yang menjauhi perhatian tersebut. Jika perlu semakin jauh semakin baik, meskipun justru sesama penyoren pedang sesungguhnyalah bagaikan tiada tempat bersembunyi yang terbaik, karena jejak seorang pendekar akan dapat mereka tandai cukup dari gerak dan langkahnya saja. Bukankah telah kuceritakan betapa seorang penyoren pedang bisa langsung menyerang, dari depan maupun dari belakang, ketika seorang penganyam keranjang, pembuat tofu, pengamen, bahkan pengemis, diketahuinya sebagai pendekar yang menyamar.

    Di dunia persilatan, ilmu silat adalah yang terpenting. Maka kesempurnaan seseorang berada di jalan persilatan itu, menang dalam pertarungan adalah penyempurnaan peringkat, kalah dan tewas dalam pertarungan adalah puncak kesempurnaan itu sendiri. Meskipun dalam kenyataannya tidak sedikit pendekar gagah perkasa atau cantik jelita dengan busana dan pernak-perniknya yang gilang-gemilang tetap saja hanyalah ilmu silatnya yang menjadi ukuran penilaian. Dalam dunia semacam itu, yang tanpa kukehendaki telah menjadi duniaku, apakah terlalu aneh jika diriku kemudian bahkan tidak merasa pasti, seperti apakah wajahku sendiri?

Namun Panah Wangi ternyata peduli.

"Tanpa wajahmu, siapakah kamu, Pendekar? Kamu sudah tidak bernama, janganlah tiada berwajah pula."

Sudah tentu ini bukan kalimat seperti yang akan datang dari dunia persilatan.

"Tanpa wajahmu, bagaimanakah aku akan bisa menatap kamu, Pendekar?"

    Ia masih terus mengurai selubung, sedikit demi sedikit sambil membaca petunjuk tertulis Tabib Pengganti Wajah, sampai lepas dan terbuka seluruhnya. Aku belum pasti seperti apakah wajahku sesungguhnya, tetapi kulihat mata Panah Wangi berbinar-binar.

Laozi berkata:

    Dao yang dapat diuraikan
    bukanlah Dao yang sebenarnya;
    nama yang dapat dinamai
    bukanlah nama tak tergantikan.
    Yang tak ternamai adalah awal langit dan bumi;
    yang ternamai adalah ibu segala sesuatu. 1


Selubung wajahku sudah terbuka setelah 40 hari melingkari kepalaku dengan erat. Panah Wangi memelukku.

"Pendekar Tanpa Nama, kamu sudah kembali!"

    Tubuhnya meruapkan bau wangi yang kemudian menempel di tubuhku. Aku duduk di sebuah bangku dan meraba wajahku. Panah Wangi membungkuk dan memegang kedua lenganku. Matanya berkata banyak, lantas tangannya memegang pula kedua tanganku yang menempel di pipi, kurasakan remasan tangannya. Semacam arus kehangatan merasuki dadaku. Mata dan remasannya menenangkanku. Tampaknya segala sesuatu berjalan dengan baik.

"Kamu ingin melihat wajahmu?"

    Aku mengangguk dan Panah Wangi menghilang keluar bilik. Ia segera kembali dengan suatu benda yang disebut cermin. Kaca itu menempel pada sebuah piringan perunggu dengan hiasan timbul seekor naga. Kaca cerminnya jernih sekali. Tentu inilah kaca cermin yang juga digunakan untuk mengatur gerakan pasukan di medan tempur.

Panah Wangi memeganginya di depanku dan aku tertegun. Benarkah itu diriku? Panah Wangi melihat suatu gelagat pada wajahku.

"Pendekar Tanpa Nama, tidak ada yang berubah," katanya.

Memang itu wajahku, aku mengenalinya, tetapi mengapa aku merasakannya seperti bukan diriku?

"Itu wajahmu," katanya, "bukankah aku mengenalimu?"

    Aku masih tertegun melihat wajah di dalam cermin yang juga sedang memandangiku itu. Wajah itu tampak wajar, meski terlalu wajar untuk seseorang yang selalu merasa terasing, dan selalu merasa sendiri seperti diriku. Seperti wajahku, tetapi seperti bukan diriku. Kehilangan sebesar apalagi yang bisa kudapatkan setelah ini? Namun aku tidak mempunyai pilihan lain.

"Ada apa Pendekar Tanpa Nama? Kamu tampak kecewa."

    Panah Wangi mengusap rambutku. Kami tidak pernah bersentuhan sebelum ini, tetapi kurasa karena dia lebih tua dariku ia bersikap sebagai seorang kakak. Aku tidak ingin salah menduga, mengingat perasaanku selama ini kepadanya yang kupendam sedalam-dalamnya.

"Aku merasa wajah itu terlalu bagus untukku."

Panah Wangi tertawa.

"Ah! Pendekar Tanpa Nama! Itu karena Batu Naga!"  
(bersambung)
 

_______________________________________________________________________________
1. Melalui Fung Yu-lan, The Spirit of Chinese Philosophy, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh E. R. Hughes (1947), h. 60.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "WAJAH SEORANG PENDEKAR (SERI 287)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari