google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 UTUSAN PUTRA MAHKOTA (SERI 291) | Silat Naga Jawa

UTUSAN PUTRA MAHKOTA (SERI 291)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    RIBUAN anak panah yang dilesatkan dengan mantra oleh Panah Wangi berhamburan dalam keadaan patah-patah di antara kebun tanaman obat. Baling-baling yang terciptakan dari pedang jian manusia berkerudung itu, bekerja dengan baik menangkis serbuan anak-anak panah mantra yang bagaikan tiada habisnya. Meski terciptakan oleh mantra, anak-anak panah patah itu dengan nyata berserakan di mana-mana, sehingga seseorang harus menimbunkannya ke atas beberapa gerobak jika harus membersihkan.

    Baling-baling masih mematahkan anak-anak panah dan menghamburkannya. Udara wangi tersebar kian kemari, tetapi tampaknya Panah Wangi sudah ingin segera menyelesaikan pertarungan ini. Mula-mula ia menyisipkan sejumlah pisau terbang yang melesat lebih cepat dan lebih bertenaga di antara anak-anak panah itu. Ketika manusia berkerudung itu menangkis pisau-pisau tersebut, Panah Wangi melesat dengan pedang jian terhunus lurus ke depan.

    Tentu Panah Wangi bermaksud menembus pertahanan lawannya ketika sedang menangkis pisau-pisau itu, tetapi bukan saja manusia berkerudung tersebut ternyata dapat menangkis kelima-limanya dengan lebih cepat, dia juga sudah berada di bawah tubuh Panah Wangi yang sedang terbang dengan pedang jian terhunus lurus ke depan. Jika manusia berkerudung itu mengangkat pedangnya, tubuh Panah Wangi dari dada ke perut akan terbelah menyemburkan darah.

    Namun ia tidak melakukannya. Sudah jelas ia tidak bermaksud membunuh Panah Wangi. Karena ia hanya memukul perut Panah Wangi dengan gwa-kang saja, bukan lwe-kang, sehingga Panah Wangi yang melayang jatuh lantas terguling-guling ke kebun tanaman obat itu dan tidak akan terluka dalam.

    Aku sudah siap menggagalkan serangan berikutnya, ketika Panah Wangi ternyata juga sudah muncul kembali dan akan melakukan serangan balasan. Namun manusia berkerudung itu telah menancapkan pedangnya ke tanah, dan ia sendiri menyungkum tanah serta mengetuk-ketukkan kepalanya ke tanah sebanyak tiga kali.? ''Maafkan saya Pendekar Panah Wangi," ujarnya setelah mengangkat kepala dan bersimpuh sambil menjura, ''Saya hanyalah seorang utusan."

Panah Wangi masih panas hatinya.

"Ambil pedangmu! Kita teruskan pertarungan ini sampai salah seorang di antara kita binasa!''

Orang itu menyungkum tanah kembali.

"Ampuni saya Puan Pendekar! Ampuni saya!"


Setelah itu ia tidak pernah mengangkat kepalanya lagi.

Sun Tzu berkata:

    jika lawan dekat di tangan dan tidak bergerak,
    ia mengandalkan kedudukan yang kuat. 1


    Panah Wangi membabatkan pedangnya. Orang itu kepalanya bisa terpenggal. Namun pedang itu terhenti dalam jarak hanya satu jari dari lehernya. Orang itu tetap menyungkum tanah.

"Apa yang harus kulakukan terhadap penghinaan macam ini?"
ujar Panah Wangi sambil memandangku.

Kuberi tanda agar ia mendinginkan hatinya, karena ini bukan seperti lawan yang sudah terlalu sering kami hadapi.

Kami biarkan ia menyungkum tanah tanpa tanggapan. Setelah ia berhenti dan mengangkat kepalanya, dan wajahnya tetap terlindungi oleh kegelapan, aku pun mengajukan pertanyaan.

"Kamu mengatakan dirimu hanyalah seorang utusan, siapakah kiranya yang mengutus kamu?"

Dari dalam ruang gelap di dalam kerudung itu terdengar suara, "Yang Mulia Paduka Putra Mahkota Pangeran Song."
Kami tertegun.

"Pangeran Song? Apa maksudnya?"

Kepala di dalam kerudung itu menoleh ke arah Panah Wangi.

"Yang Mulia Paduka berkenan menerima Pendekar Panah Wangi sebagai pengawal pribadinya."

Panah Wangi langsung naik pitam.

"Dengan bahasa apa kamu bicara?! Membolak-balik perkara! Apa maksudnya dengan kata-kata 'berkenan menerima'?"

"Oh, itu adalah bahasa istana, Puan."

"Kata-kata itu hanya berarti aku pernah melamar, padahal tidak akan pernah! Jadi benar kamu mengujiku?"

Ia kembali menyungkum tanah.

"Mohon ampun! Saya hanyalah seorang utusan!"

Panah Wangi seperti sudah akan membabat, tetapi sekali lagi pedang jian itu terhenti pada jarak selebar satu jari saja.

"Pulanglah wahai utusan! Sampaikan kepada majikanmu bahwa Panah Wangi tidak sudi menjadi pengawal pribadinya!"

    Orang berkerudung itu mendongak, lantas menyungkum tanah, bahkan mengetuk-ketukkan dahinya ke tanah, tidak kuhitung lagi sampai berapa kali.

"Mohon ampun! Sudilah menjadi pengawal! Sudilah! Mohon ampun! Agar saya tidak harus memaksa! Mohon ampun! Titah Yang Mulia Paduka Putra Mahkota! Jika Puan tidak bersedia agar dipaksa! Mohon ampun! Agar dipaksa! Mohon ampun! Sudilah! Mohon ampun!"

    Panah Wangi memandangku. Aku mengerti, dengan pengetahuan ilmu silat utusan Pangeran Song itu tinggi sekali, tentulah ini merupakan persoalan yang pelik. (bersambung)

________________________________________________
1. Sun-Tzu, The Art of War, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh John Minford [2009 (2002)], h. 54. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "UTUSAN PUTRA MAHKOTA (SERI 291)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari