google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 MEMPERTAHANKAN KEHIDUPAN (SERI 278) | Silat Naga Jawa

MEMPERTAHANKAN KEHIDUPAN (SERI 278)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

PANAH Wangi berdiri menghadapi dua pendekar yang masing-masing memegang pedang panjang. Ia segera bergerak cepat, dan dua belas orang yang ikut mengepungnya dengan berbagai macam senjata di atas tembok dan atap gedung lain jatuh terguling-guling. Anak panah menancap pada dahi mereka masing-masing.

Bau wangi meruap dari panah-panah itu. Panah Wangi masih memegang busur. Pedangnya sudah tersimpan. Kedua orang berpedang panjang melengkung itu masih berdiri di tempatnya. Belum jelas apakah kedua orang itu datang bersama atau belum saling mengenal, tetapi jika keduanya bergerak, Panah Wangi sudah siap menyelesaikan riwayat hidup mereka.

Namun gagasan akan riwayat hidup itu membuatnya berbicara.

"Kalian tampak sangat berminat terhadap Batu Naga," ujarnya, "Coba katakan apa yang membuat kalian sangat menghendakinya?"

"Apakah ada gunanya? Apakah Puan Pendekar lantas akan melepaskan kepentingannya, setelah mengetahui mengapa saya dengan menempuh segala marabahaya juga menghendakinya?"

Panah Wangi menghela napas, alangkah berharganya waktu sekarang ini.

"Katakan saja segera," katanya.

Orang itu berkisah dengan ringkas, bahwa ibunya di kampung sakit keras, dan hanya kemanjuran Batu Naga itulah yang bisa menyembuhkannya.

"Bagaimana dengan kamu?"

Panah Wangi bertanya kepada penyoren pedang yang lain. Jawabannya sejenis.

"Tanpa Batu Naga itu, anakku hanya tiga hari lagi umurnya."

Panah Wangi untuk sejenak tidak dapat menentukan apakah dirinya menyesal atau tidak telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, daripada menamatkan riwayat hidupnya saja. Jawaban-jawabannya telah membuat Panah Wangi terpaksa membandingkan, manakah yang lebih penting antara kembalinya wajahku dan matinya orang-orang tercinta dari kedua pendekar itu. Jika dia lepaskan kepentingannya atas Batu Naga, apakah kedua pendekar yang sama-sama bersenjata pedang panjang melengkung itu akan saling berbunuhan untuk mendapatkan Batu Naga?
Ia telanjur membayangkan, jika bisa mengalahkan kedua pendekar itu dan mereka tewas, apa yang akan terjadi dengan seorang ibu sakit parah yang sedang menunggu-nunggu anaknya pulang membawa Batu Naga itu? Apa pula yang akan terjadi dengan seorang anak yang dalam tiga hari ini menatap langit-langit, dengan pandangan yang makin lama makin meredup, dan pada hari terakhir tidak pernah terbuka lagi untuk selama-lamanya?

Sang Buddha berkata:
melihat bahaya pada diri mereka

melihatnya maju sebagai kebahagiaan,

aku akan terus ikut berjuang,

demi pikiran menggembirakan.1

Keduanya sampai ke Chang'an barangkali karena mendengar bahwa Batu Naga memang berada di tangan Tabib Pengganti Wajah, atau menghubung-hubungkan berbagai cerita dari orang-orang yang pernah dirawat, cerita di kedai, dan berita apa pun yang masuk akal maupun tidak masuk akal. Barangkali sudah lama mereka berada di Chang'an, barangkali mereka juga baru saja masuk Chang'an, tetapi pada malam lautan api ini hanyalah garis kilau hijau tegak lurus dengan langit itulah yang memastikan keberadaan Batu Naga. Siapa pun yang mencarinya, pastilah akan segera mengenali dan berkelebat untuk segera menyambarnya.

Namun bukan hanya dua pendekar maupun duabelas pemburu Batu Naga lain yang ditewaskan panah-panah Pendekar Panah Wangi yang sedang memburu batu mestika penyembuh segala penyakit itu, melainkan juga segala manusia yang putus asa dengan penyakit-penyakit nan tak tersembuhkan. Bukan hanya di Chang'an, tapi di seluruh Negeri Atap Langit orang-orang dunia persilatan menyusuri sungai, menjejaki pantai, keluar masuk gua, naik turun gunung, dan merambah hutan untuk mencari Batu Naga.

Dalam dunia persilatan, mungkin Batu Naga diburu demi teraihnya wibawa naga. Tetapi Panah Wangi dapat merasakannya sekarang betapa di berbagai sudut negeri Batu Naga sungguh didambakan demi mempertahankan kehidupan. Dapat dibayangkannya orang-orang menunggu Batu Naga dan meninggalkan dunia ini karena orang yang membantu mereka belum atau bahkan tidak akan pernah kembali.

Seperti berlaku dalam dunia persilatan, Panah Wangi sebetulnya berhak membunuh salah satu maupun kedua pendekar yang juga bermaksud membunuhnya itu. Jika bukan Panah Wangi, pertarungan secepat bayangan berkelebat itu belum tentu teratasi tanpa hilangnya nyawa. Namun Panah Wangi sekarang berpikir lain. Batu Naga itu masih tertutup abu setumpuk.

"Kamu yang anaknya tinggal tiga hari lagi usianya, di manakah anakmu kini?"

"Dia di Louyang, Puan. Apakah saya bisa membawa Batu Naga itu?" (bersambung)
________________________________________

1. Lucien Stryk, World of the Buddha: A Reader - from the Three Baskets to Modern Zen [1969 (1968)], h. 49.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MEMPERTAHANKAN KEHIDUPAN (SERI 278)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari