google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 BAB 3 : BISAI ATAWA GELANGGANG PERTARUNGAN (SERI 21) | Silat Naga Jawa

BAB 3 : BISAI ATAWA GELANGGANG PERTARUNGAN (SERI 21)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

Di sebuah kota tempat berlangsungnya bisai, tidaklah akan terlalu mengherankan jika pendekar semacam itu berkeliaran di balik keramaian. Betapapun seorang pendekar itu ingin menjauhi peradaban maupun dunia persilatan, gelanggang bisai tidak akan dilewatkannya untuk mengetahui perkembangan. 

Meski pengalamanku di dunia persilatan belum lama, kuketahui belaka betapa di antara penonton bisai pasti terdapat seseorang yang sangat tinggi ilmunya, dan bagi mereka gerakan tercepat yang bahkan melebihi kilat pun sangatlah amat begitu jelasnya!

"Apa yang terjadi?" tanyaku kepada orang-orang di sebelahku.

Jawaban mereka sebetulnya begitu cepat, sehingga hanya dengan menghubung-hubungkan sejumlah kata yang kuketahui saja maka aku bisa menceritakan kembali peristiwa ini.

***

Demikianlah, seperti yang akan menjadi jelas kemudian, ketika aku lelap tertidur di penginapan, di bawah rembulan Yan Zi dan Elang Merah berjalan menuju ke sungai mencari tempat untuk mandi. 

Mereka telah dengan sengaja berusaha tidak menarik perhatian, antara lain dengan berjalan pelahan di tepi jalan. Di sepanjang tepi jalan banyaklah para penjual makanan yang menyambut rembulan, karena apabila bulan bersinar terang di Kota Shangluo orang-orang keluar rumah dan berjalan-jalan. 

Di tepi jalan itu orang-orang duduk di luar, para pengemis dengan caping yang lebar dan bebat kain bagi korengnya yang seperti terus-menerus bernanah menembus kainnya itu terpaku di setiap pojok. Terdengar pengamen jalanan memetik kecapi lagu pujaan kepada rembulan. Namun keduanya kemudian disalip oleh sepasang muda-mudi yang menyoren pedang. Keduanya mendengar percakapan mereka.

"Kakak, tidak usahlah kita berjalan cepat-cepat. Bisai itu pastilah sudah usai. Bukan salah Kakak bahwa tadi kita terhalang di tengah jalan. Betapapun rakyat kecil yang membutuhkan bantuan kita memang harus didahulukan. Kita masih bisa mengikuti bisai ini tahun depan."

"Kalau bukan Adik tadi yang meminta para perampok jangan dibunuh, urusan kita tentu jauh lebih cepat," sahut kakaknya dengan kesal, "Adik mengerti jika melumpuhkan mereka tanpa luka tidaklah lebih mudah daripada membunuhnya. Marilah berjalan lebih cepat, jika tinggal satu pemenang di gelanggang pun Kakak masih bisa menantangnya bertarung."

Yan Zi dan Elang Merah saling bertatapan, dan segera lupa akan pesanku agar jangan terlalu dekat dengan orang-orang persilatan. Mereka masing-masing mengaku berpikir bahwa melihat bisai itu sebentar saja tentu akan terpuaskan. Mereka ikuti muda-mudi itu sampai ke gelanggang yang ternyata masih ramai dikerumuni orang. 

Bahkan tidak sedikit yang menonton sambil melakukan pertaruhan. Di gelanggang tampak seorang lelaki tinggi besar berbaju kulit binatang bersenjatakan toya, menghadapi seorang lelaki semampai yang tidak berbaju ringkas seperti siap bersilat, melainkan mengenakan jubah biru muda bagaikan seorang xiucay atau sarjana yang lulus ujian negara, seperti siap akan pergi ke acara resmi dengan fu tou atau turban sambil membawa kipas.


"Udara dingin begini mengapa harus berkipas-kipas? Kepanasankah kiranya Sastrawan Kejam dari Tianshan?"

Lelaki pembawa toya itu tampak melecehkan, tetapi begitu nama Sastrawan Kejam dari Tianshan itu disebutkan terdengarlah desis orang-orang yang tersentak dengan penuh kengerian, karena meskipun lelaki semampai itu tampak sangat terpelajar namanya dikenal sebagai pembunuh terkejam. 

Ia disebut sebagai sastrawan bukan karena mampu menulis puisi, melainkan karena suka mengutip puisi-puisi yang terkenal untuk merayakan kemenangan dalam pertarungannya, yakni ketika lawan akhirnya tewas setelah mengalami penderitaan disiksa senjata kipas.

Konon kabarnya ketika meninggalkan Pegunungan Tianshan yang bersalju di Xinjian di dekat perbatasan dengan Uighur, sebetulnya lelaki semampai itu ketika masih remaja memang ingin menjadi sastrawan. Namun suatu kejadian, yakni pemerkosaan yang dilakukan seorang sastrawan gadungan yang sengaja menipunya, telah membelokkan riwayat hidupnya. 

Ia tak pernah belajar ilmu surat, melainkan ilmu silat yang keampuhannya hanya bisa dibuktikan dengan membunuh lawan. Ia tak pernah mampu membuat puisi sendiri, melainkan hanya mengutipnya saat merayakan keberhasilannya menewaskan lawan. Itulah sebabnya ia diberi julukan Sastrawan Kejam dari Tianshan, yang sebetulnya lebih merupakan ejekan atas ketidak-mampuannya menulis puisi.

Namun mendengar ejekan tersebut, yang berarti dalam satu kalimat ia telah diejek dua kali, lelaki semampai itu hanya tersenyum, sambil masih terus mengebutkan kipasnya bagaikan memang sedang kepanasan.

"Hmm, Gembala Sakti dari Gurun Hobq rupanya merindukan domba-domba yang biasa digiringnya dengan tongkat itu," katanya, "sayang sekali ia tidak akan pernah kembali lagi ke padang rumput Xilin Gol yang telah menghijau kembali musim panas ini."...(Next Seri 22)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BAB 3 : BISAI ATAWA GELANGGANG PERTARUNGAN (SERI 21)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari