google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 66 : MENGEJAR BAYANGAN DALAM KELAM (SERI 326) | Silat Naga Jawa

66 : MENGEJAR BAYANGAN DALAM KELAM (SERI 326)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    PADA malam kesembilan, bulan kesembilan, yang di Javadvipa disebut bulan Caitra, sebagian orang di Kotaraja Chang'an pergi ke luar kota, terutama ke pegunungan, untuk berwisata. Namun sebagian lagi lebih memilih untuk membuka bekalnya di puncak pagoda, atau di Danau Lekuk Ular. Sejak malam itu berlangsung liburan selama tiga hari, dalam rangka Pesta Makanan Dingin. Rangkaian pesta dan upacara selalu dihubungkan dengan bunga matahari sebagai lambang panjang umur, karena bentuk bunganya yang seperti matahari pemberi kehidupan itu sendiri.

    Batang dan daunnya dikumpulkan pada hari kesembilan tersebut, ditambahkan pada peragian gandum, dan bisa diseduh sepanjang tahun. Semenjak pemerintahan Wangsa Tang sudah menjadi kebiasaan untuk meminum sari bunga matahari sepanjang rangkaian pesta dan upacara. Kami bertiga, aku, Panah Wangi, dan Anggrek Putih, sedang menikmati minuman tersebut pada malam kesembilan di teras atas kuil Kaum Muhu, ketika sesosok bayangan melenting dari atas wuwungan kuil Kaum Muhu menuju wuwungan wihara Buddha, melenting lagi ke wuwungan kuil Kaum Dao, lantas berkelebat ke atas tembok pembatas petak dan menghilang...

    Panah Wangi siap berkelebat tetapi kucegah dan akulah yang berkelebat menyusulnya, karena sudah jelas betapa dia sengaja memperlihatkan diri agar diikuti. Kucegah Panah Wangi mengikutinya karena ia tidak tampak seperti menyadari pancingan itu. Jika pancingan ini bermaksud jahat, kukira biarlah diriku saja yang menghadapinya. Di dalam dunia persilatan yang penuh dengan tipuan sulap, sihir, dan keajaiban tidak masuk akal, sedikit kelengahan sudah akan langsung menerbangkan nyawa ke langit, dan aku sama sekali tidak akan membiarkannya terjadi atas Panah Wangi.

    Sembari melesat, melejit, dan berkelebat mengikutinya dari atap ke tembok ke lorong dan ke atap lagi, aku terkesiap dalam hatiku menyadari apa yang kupikirkan tentang Panah Wangi. Mungkinkah karena Amrita, Elang Merah, dan Yan Zi Si Walet, semuanya pergi dengan begitu mendadak, dengan cara yang tidak pernah kuduga akan mungkin terjadi? Apalagi Yan Zi, yang tanpa dapat kucegah dalam ketaksengajaan tewas oleh tanganku sendiri!

Dalam catatan tambahan pada I Ching tertulis:

    adalah cara Langit
    untuk mengurangi yang berlebihan
    dan menambah yang sederhana;
    adalah cara Bumi
    untuk menebang yang berlebihan
    dan memberikan hidangan cuma-cuma
    bagi yang sederhana
1

    Begitulah bayangan itu melesat naik dan menukik turun dengan gerakan yang teracu kepada burung camar dan kelelawar silih berganti. Ya, selintas pintas aku teringat gerakan Pangeran Kelelawar yang sekarang tentunya masih tertancap dua pedang, menempel pada dinding batu Puncak Tiga Rembulan di Tanah Kambuja, tempat kisah cintaku dengan Amrita Vighnesvara, yang kukira terlalu sederhana sebagai kisah cinta bermula.

    Namun bayangan ini juga memanfaatkan kesetimbangan burung camar, yang bisa diam tetapi tetap meluncur dengan tangan terbentang di atas kotaraja yang sedang berpesta, karena larangan keluar rumah pada malam hari tidaklah berlaku selama tiga malam ini. Jika kelelawar mengandalkan daya kepak, dan caranya menukik seperti menjatuhkan diri, mirip dengan gerakan kegelisahan, maka ketenangan burung camar menjadi imbangan yang anggun dalam seni gin-kang atau ilmu meringankan tubuh. Keindahan paduan keduanya dalam terbang malam seperti ini membuatku nyaris melupakan betapa bayangan yang kuikuti naik turun dari atas genting turun ke lorong sunyi dan naik lagi menjejak dinding tembok, dan berlari miring sepanjang dinding, sangat mungkin merupakan sosok yang sangat berbahaya!

    Kami masih berlari miring sepanjang dinding tembok selatan ketika dari arahnya meluncur bola-bola kecil hitam, yang aku tahu betapa diriku lebih baik menghindar dan jangan sampai tersentuh maupun menyentuhnya. Bola-bola hitam itu lewat melesat hanya berjarak tiga jari dari wajahku, yang mengingatkanku kepada nasib burukku ketika sebuah bola peledak membakar wajahku tanpa bisa kuhindari lagi.

Wuuuzzzzz!

    Meski hanya selintas dapat kuketahui ini bukanlah bola peledak yang bisa membuat seekor kuda berlari terpanggang api, melainkan bola yang ketika mengenai sasarannya akan meletupkan serbuk beracun, yang jika terhirup sedikit saja akan mengakibatkan kematian dengan cara yang sangat mengenaskan, begitu mengenaskan, sehingga aku merasa lebih baik sedikit pun tidak perlu menggambarkannya kembali. (bersambung)

________________________________________________________
1 Fung Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy (1948), h. 172. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "66 : MENGEJAR BAYANGAN DALAM KELAM (SERI 326)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari