google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 JANJI SEORANG PENDEKAR (SERI 309) | Silat Naga Jawa

JANJI SEORANG PENDEKAR (SERI 309)

KLIK pada gambar untuk membesarkan

    RIBUAN jarum beracun menyerbu dari segala penjuru. Panah Wangi yang sejak tadi mengikuti dan menjaga kami dari belakang dengan masih berbusana pengemis, membuka capingnya dan mengebutkannya dengan daya lwe-kang sehingga jarum-jarum beracun itu pun rontok sebelum mencapai tujuan. Saat itu jalan sedang sepi. Jarum-jarum bertebaran di jalanan. Kami bersiap untuk serbuan berikutnya, tetapi tidak ada serangan apa pun. Dari setiap mulut jalan, seperti berjanji, muncul orang-orang yang tentunya biasa melewati jalan ini.

"Banyak sekali jarum di sini," kata seorang perempuan yang membawa anak kecil, "Awas jangan sampai menginjak jarum-jarum itu."

Aku pun khawatir dengan racun pada jarum-jarum itu, yang sedikit goresannya sudah menerbangkan nyawa orang. Namun perempuan itu bahkan memungutnya sambil terus berjalan.

"Tapi jarum ini tidak bisa digunakan untuk menjahit karena tidak ada lubang jarumnya," katanya, "Apakah dibuang karena tidak bisa dijual? Tapi mengapa dibuang ke jalanan?"

    Betapa berjaraknya dunia persilatan dengan kehidupan sehari-hari. Perempuan itu tidak mengetahui keberadaan jarum-jarum sebagai senjata rahasia. Kuharap jarum itu akan segera dibuangnya ketika jari-jarinya terasa gatal karena racunnya, dan kuharap pula setelah itu ia tidak makan sesuatu menggunakan tangan ...

    Semakin banyak lagi orang yang melalui jalan ini meski belum menjadikannya terlalu ramai. Seorang Ta ch'in yang tinggi besar berambut merah tampak menaiki unta yang juga disediakan Usaha Jasa Keledai Cepat, dengan seorang penuntun membawa tali kekangnya di depan. Di mana pelempar jarum itu? Mengingat jarumnya datang dari segala arah secara serentak, berarti gerakannya sangat amat cepat, begitu cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat.

"Ini tidak bagus," kata Panah Wangi, "lebih baik siapa pun keluar dan menyerbu daripada diam-diam bersembunyi tetapi mengikuti dan mengetahui ke mana kita pergi."

    Kuil Muhu di bagian utara masih setengah perjalanan lagi tempatnya. Tidak ada orang lain yang mengetahui rencana penculikan ini selain padri Kaum Muhu itu. Jadi serangan ini mungkin saja tidak ada hubungannya sama sekali.

"Kita mesti memancingnya," kataku, "Yang diserang bukan dirimu, dan jika berurusan dengan masalah ini, lebih baik dia tidak menyerang tetapi membuntuti. Bawalah Anggrek Putih ke kuil itu dan aku tetap di sini, nanti aku menyusul."

Dalam samaran busana pengemisnya yang meyakinkan, Panah Wangi tampak dekil dan bau, tetapi di balik bayang-bayang capingnya kulihat sepasang mata cemerlang yang tampak sangat mengkhawatirkan diriku.

"Pendekar Tanpa Nama, berjanjilah akan menyusul segera," katanya.

    Aku mengangguk saja, karena dalam dunia persilatan suatu janji sangatlah mahal harganya. Bagaimanakah kiranya jika diriku berjanji akan menyusul segera, tetapi sesaat kemudian aku tewas oleh serangan gelap dari belakang?

    Dalam sekelebat aku teringat begitu banyak kisah mengharukan tentang janji ini dalam dunia persilatan, seperti tentang dua pendekar yang selalu bertemu untuk bertarung setiap tahun di puncak bukit pada malam purnama, karena sejak pertarungan pertama tidak pernah ada yang kalah atau menang. Mereka selalu bertarung setiap tahun setelah menambah ilmu masing-masing, tetapi tetap saja hasilnya selalu seimbang dan setiap kali berjanji untuk bertarung lagi tahun depan, sehingga dunia persilatan tidak tahu lagi apakah hubungan keduanya adalah lawan atau kawan.

    Demikianlah dikisahkan suatu ketika salah seorang tidak datang dan yang lain tetap menunggu demi janji yang telah diucapkan. Pendekar yang menunggu itu sungguh-sungguh menunggu sampai bertahun-tahun lamanya, sampai membuat gubuk di pun­cak bukit itu, bahkan setelah meninggal dunia pun berkubur di situ. Malam setelah pengu­buran, lawannya datang dengan rambut putih, janggut putih, dan tangan buntung.

    Darah segar mengalir dari tangan buntungnya itu. Ternyata dalam perjalanannya ke puncak bukit itu dahulu kala, ia telah dicegat lawan demi lawan yang terus ada meski selalu bisa dikalahkannya. Setiap kali terluka parah ia harus menyembuhkannya dahulu sebelum mampu meneruskan perjalanan, sehingga baru tiba setelah lawan bebuyutannya itu meninggal. Lawan terakhir memang bisa ditewaskannya, tetapi tangannya terbabat buntung dan mengeluarkan banyak darah.

"Aku datang untuk memenuhi janji," katanya, sebelum ia jatuh berlutut, dan mati tertunduk dalam keadaan bersimpuh di depan kuburan lawannya.

Itulah yang membuatku tidak berani terlalu gegabah berjanji, juga kepada Panah Wangi, meski sekali berjanji harus kupenuhi sampai mati.

"Terima kasih telah menungguku, Pendekar Tanpa Nama."

Kudengar suara yang mantap dan berat di belakangku, yang sekaligus juga menandakan kedalaman ilmu.

Aku tidak menoleh, karena menoleh sama dengan kematian! (bersambung) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JANJI SEORANG PENDEKAR (SERI 309)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari