google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 51 : MENYATU DENGAN PENCERAHAN (SERI 254) | Silat Naga Jawa

51 : MENYATU DENGAN PENCERAHAN (SERI 254)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

HUJAN sebagai hujan itu sendiri dalam keluasan pandang sudah seperti suatu bahaya. Di antara guntur menggelegar kilat berkeredap dan petir seperti dipersilakan menyambar nyawa siapa saja, kebetulan maupun tidak kebetulan, sengaja maupun tidak sengaja, selama perjalanan nasibnya melewati titik-titik ketakdiran terburuk dalam hidupnya di muka bumi. Keadaan semakin rawan apabila yang berlangsung di muka bumi itu sendiri, di kawasan tersempit antara Dunhuang dan Chang'an, berlangsung pertarungan gila di dalam hujan tempat perbedaan antara kawan dan lawan hanya dapat diperkirakan.

Satu, dua, tiga, empat bayangan dalam hujan berkelebat dari balik tirai hujan antara terlihat dan tidak terlihat, antara bayangan dan bukan bayangan, antara bukan bayangan dan seperti bayangan, antara seperti bayangan dan bukan sekadar bayangan, antara bukan sekadar bayangan dan bayangan yang tiada lain dan tiada bukan memang adalah bayangan. Dalam kelebat bayangan yang lebih cepat dari cepat, tidaklah terlalu dimungkinkan kepastian pengenalan musuh atau lawan, tinggal rasa yang bergerak melampaui pemahaman dan penalaran.

Pedangku bergerak empat kali, satu, dua, tiga, empat, dan empat bayangan macam apa pun menjelma tubuh terbelah bersimbah darah membuncah menyusur tanah basah.

"Panah Wangiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!''

Namun sepertinya hanya hujan, hujan, dan tiada lain selain hujan yang masih terus menderas dan mengelabu menyahut panggilanku.

Hanya hujan? Rupanya di balik tirai hujan itu sudah melingkar pagar betis kepungan orang-orang berpedang terhunus. Tidaklah jelas bagiku di mana sekarang kuda mereka, tetapi barisan pengepung tanpa kuda tidaklah kurang berbahaya karena bisa mengunci, memapas, membacok, dan menusuk di tempat mematikan dari jarak yang lebih dekat.

Seperti para penyamun gunung, busana mereka serbakumal, tebal, dan kelabu. Namun di sini ditambah dengan kepala yang mengenakan serban.
Kucoba bicara sambil mengatasi suara hujan.

"Di manakah Pendekar Panah Wangi?"

Mereka tidak menjawab. Hujan membasahi tubuh mereka dan baru kuperhatikan betapa semua pedang mereka adalah pedang melengkung.

Kemudian kudengar di antara mereka saling bicara. Mereka tidak bicara dalam bahasa Negeri Atap Langit! Aku pernah mendengar bahasa orang Tibet maupun bahasa orang Uighur, tidak satu pun dari yang kudengar ini mirip dengan bahasa keduanya. Jadi mereka tidak berasal dari Kerajaan Tibet maupun Khaganat Uighur. Di wilayah sempit yang terjepit kedua negeri tersebut, sudah sering terjadi penyerbuan tentara maupun penyamunan yang berasal dari wilayah keduanya, tetapi barisan berkuda ini tidak berasal dari keduanya. Seseorang maju ke depan, bicara dengan bahasa Negeri Atap Langit yang tidak terlalu jelas.

"Tuan Pendekar Tanpa Nama bukan?"

Inilah kesempatanku.

"Siapa yang berbicara?"

"Kami semua berasal dari Atlakh," katanya, ''Pendekar Panah Wangi sebetulnya juga berasal dari sana, dan kami bertugas untuk menjemputnya, tetapi sayang sekali Pendekar Tanpa Nama tidak dapat ikut bersama kami."

Aku terdiam. Suara hujan bagaikan menghilang, tetapi tidak ada yang menghilang, hanya perhatianku terserap lanjutan kata-katanya.

"Kami menjalankan tugas dari ayahnya, kepala suku kami, untuk membawa pulang Panah Wangi kembali, karena ayahnya sedang sakit keras dan harus ada yang menggantikannya. Ayahnya pun mengetahui bagaimana putrinya telah menjadi seorang buronan di Chang'an. Ini memperkuat minat ayahandanya untuk mengambil kembali Panah Wangi dari pengembaraannya yang berkepanjangan. Sudah sepuluh tahun Panah Wangi pergi dari kampungnya dengan alasan mencari ilmu dan pengalaman. Kini kami membutuhkannya. Saya berharap Pendekar Tanpa Nama bisa mengerti. Sebab jika tidak tentu kita harus bertarung lagi, dan itu artinya masih akan ada korban, yang sungguh tidak perlu jika urusannya seperti ini."

Hujan terdengar kembali, meskipun telah menyurut jadi gerimis. Alih-alih mengepung untuk bertarung, pagar betis pedang melengkung itu perlahan memudar seperti kabut atau pelangi yang memudar. Ketika gerimis memudar dan udara menjadi bersih, mereka semua hilang seperti ditelan bumi.

Hujan akhirnya berhenti sama sekali. Aku melanjutkan perjalanan dengan kudaku sendirian saja menuju Chang'an. Serangan mereka yang keras tadi, menurut orang yang berbicara itu, tidak bisa dilakukan dengan cara lain, karena jika Panah Wangi yang sempat mendahului, mungkin tidak ada satu pun di antara mereka yang kini masih hidup. Sejauh kukenal Panah Wangi yang keras dan cukup kejam, kenyataan itu tidak dapat kuingkari.

Seng-Ts'an berkata:
jika dikau tidak berprasangka

terhadap perhatian indera keenam,

maka dikau menyatu dengan pencerahan 1 (bersambung)
________________________________________
1. Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h. 173.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "51 : MENYATU DENGAN PENCERAHAN (SERI 254)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari