google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PASUKAN TA-SHIH BERJUBAH HITAM (SERI 272) | Silat Naga Jawa

PASUKAN TA-SHIH BERJUBAH HITAM (SERI 272)


KLIK pada gambar untuk membesarkan


BOLA peledak itu telah meledak tepat di depan wajahku. Bola peledak ini rupanya lebih diandalkan untuk membakar daripada menghancurkan, maka wajahku pun terbakar, tetapi kepalaku tetap utuh. Betapapun, sebagai bola peledak yang meledak di depan wajah, daya ledaknya tetap berhasil mengguncang urat-saraf di kepala, dan kukira itulah yang membuatku pingsan terlalu lama.

"Kamu juga memasuki Chang'an dengan tenaga yang sudah terkuras karena perjalanan panjang sepanjang jalur cepat, semenjak kita mengejar maharaja bayangan dan kembali lagi," ujar Panah Wangi, "Kuikuti jejakmu dan kuketahui kamu telah mengalami berbagai macam peristiwa yang sangat melelahkan."

Sekarang barulah kumengerti betapa tentunya kulit wajahku rusak berat, hangus, dan mungkin juga mengelupas. Mungkinkah wajahku akan berubah? Baru kusadari sekarang, pandangan mata Panah Wangi yang seperti menahan diri untuk mengatakan sesuatu.

"Katakan saja," kataku, tetapi dengan mengatakan itu saja, artinya mulut dan kulit wajah bergerak, kesakitannya sungguh alang-kepalang.

Panah Wangi hanya menggeleng. Aku semakin penasaran, dan bermaksud memegang lengannya, tetapi tanganku tidak bisa bergerak. Apakah ia telah menotokku?

Ia meremas lenganku.

"Semakin sedikit kamu bergerak, semakin baik untuk kesembuhanmu."

Aku tidak ingin menjawab lagi. Berapa lama aku harus tetap berada dalam keadaan seperti ini?

Sambil menyuapiku dengan air maupun kuah daging, Panah Wangi lantas bercerita bahwa di tengah jalan dirinya memang membebaskan diri dari para penyekapnya.

"Kami orang-orang Karluk sudah tahu akal bulus masing-masing, mereka semua tiada lebih dan tiada kurang adalah paman-paman dan sepupu-sepupuku sendiri. Ayahku memang sakit keras. Di tengah jalan, kami bertemu dengan pembawa kabar bahwa ayahku sudah meninggal, dan saat itu kukatakan bahwa aku tidak berminat meneruskan kekuasaan. Aku pun tahu, paman tertua lebih berminat untuk memimpin suku daripada diriku, dan jalannya terbuka, karena aku seorang wanita.

"Namun mereka hanya ingin memastikan bahwa aku tidak berkepentingan dari ucapan mulutku sendiri. Tiada lebih dan tiada kurang, panahkulah yang mereka takuti. Bagi kami yang hidup dalam tenda di alam bebas, kekuatan senjata sangat cepat digunakan untuk mengubah peraturan, tetapi aku sudah mengucapkan janjiku. Aku bahkan tidak merasa perlu untuk menghadiri upacara penguburan ayahku. Diriku mengembara dan mencari makna hidup bukan tidak ada sebabnya. Ibuku adalah seorang tawanan yang tidak pernah dinikahi ayahku. Kuragukan diriku dilahirkan oleh cinta, dan aku mengembara untuk mencari cinta. Jika aku merasa telah mendapatkannya, mengapa aku harus meninggalkannya bukan?

"Pendekar Tanpa Nama, telah kutemukan cintaku dan kuberikan hidupku untuk itu. Mati demi cinta adalah keberuntungan bagiku."

Untuk kalimat semacam ini aku hanya bisa menghela napas panjang.

Laozi berkata:
tanganilah sesuatu
ketika masih belum berarti;
jagalah sesuatu dengan teratur
sebelum ketakteraturan merasukinya.1

Seperti yang kualami dalam perjalanan, Panah Wangi menempuh jalan kembali ke Chang'an dalam dunia berhujan, berpetir, berhalilintar, berguntur, tetapi dalam keadaan yang lebih berat karena menuruni gunung dan kudanya tidak begitu mudah melaju. Beda dengan diriku di jalur cepat, tempat kuda pengantar surat merasa seperti berada di rumahnya sendiri, Panah Wangi menempuh jalan menurun yang curam dan berbahaya dengan berhati-hati sekali.

Masalahnya, di kaki gunung dilihatnya pasukan yang disebut khalayak Negeri Atap Langit sebagai Ta-Shih Berjubah Hitam. Dahulu pasukan ini dibangun oleh Abu al-'Abbas al-Saffah, yang meninggal tahun 752. Berarti pasukan ini masih ada dan sekarang berada di tapal yang berbatasan dengan Negeri Atap Langit. Apa yang akan mereka lakukan?

Bertahun-tahun sebelumnya, Panah Wangi adalah mata-mata pasukan perbatasan yang diselundupkan ke dalam Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam. Keberadaannya sebagai bagian dari orang-orang Karluk, yang keberpihakannya berubah-ubah, mendukung peranannya dalam tugas itu. Panah Wangi adalah mata-mata yang bertugas menyamar sebagai mata-mata ganda.

Sedangkan ayahnya, Panah Besar, ternyata pernah bergabung dengan 4.000 pasukan Abbassiyah yang dikirim khalifah Abu Jafar al-Mansur, pengganti Abu al-'Abbas al-Saffah, untuk membantu Maharaja Suzong mengatasi Pemberontakan An-Shi. Khalayak Negeri Atap Langit mengenal sang khalifah sebagai A-p'uch'a-fo.

Meskipun sudah lama meninggalkan dunia mata-mata tentara, untuk mengembara dalam dunia persilatan, penyamarannya belum pernah terbuka. Salah seorang dari Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam ini melihat Panah Wangi yang belum sempat bersembunyi!

"Apakah mereka masih menganggapku teman atau penyamaranku dahulu sudah terbuka?"

Mataku terpejam. Panah Wangi kudengar masih berkisah. (bersambung)
________________________________________
1. Dari ayat ke-64 dalam Daodejing, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh D. C. Lau [1972 (1963)], Page-125.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PASUKAN TA-SHIH BERJUBAH HITAM (SERI 272)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari