google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PEMBUNUHAN SEBAGAI TUJUAN (SERI 257) | Silat Naga Jawa

PEMBUNUHAN SEBAGAI TUJUAN (SERI 257)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

BAIKLAH, teluh membunuh para perompak karena memang ditujukan kepada para perompak, dan diriku jauh dari keinginan untuk mencampuri urusan itu. Tetapi perasaanku tidak bisa tidak terganggu jika teluh yang justru telah memisahkan hewan tersebut tidak membeda-bedakan korban manusia. Para pengantar surat dengan pesan-pesan penting mereka, kaum pedagang dari Jalur Sutera yang sekadar singgah sebelum kembali menghubungkan dunia, anak remaja yang mungkin untuk pertama kalinya mengembara, seorang ibu paro baya di dalam kedai, tukang-tukang perahu dan para penumpang dengan bekal seadanya yang menginap di perahu itu, haruskah mereka juga ikut menjadi korban?

Kaum perompak tidak bermukim di tempat persinggahan, tidak pula di kampung-kampung sepanjang sungai, dan tidak pula di perahu-perahu penyeberangan. Mereka bermukim di tempat tersembunyi, dan karena itu sangat tidak mudah ditemukan, meski tentunya tetap berada di sekitar bagian sungai yang telah mereka kuasai selama 20 tahun itu. Kukira kemungkinan besar mereka juga menggunakan tabir halimunan, sehingga meskipun mereka sesungguhnyalah berada di sana tetapi tidak terlihat tidak terdengar dan tidak terasakan sama sekali kehadirannya.

Sihir harus dilawan dengan sihir, maka rupa-rupanya telah digunakan sihir pula untuk menembus tabir halimunan, yang selama 20 tahun berhasil menutupi keberadaan para perompak sungai di sepanjang sungai tersebut, apakah itu di delta yang banyak terdapat di sana, apakah itu di dinding-dinding tebing tempat terdapatnya gua-gua tersembunyi, apakah itu kampung di antara kampung-kampung di sepanjang tepi sungai itu juga, tetapi yang seluruh penduduknya adalah para perompak dan keluarganya.

Apakah itu berarti keluarga perompak harus dianggap sebagai perompak juga? Namun jika teluh ini mematikan pula kehidupan mereka yang hanya lewat dan menunggu perahu penyeberangan diberangkatkan besok pagi, dapat kubayangkan betapa tanpa pandang bulu telah dimatikannya pula setiap manusia yang bernapas di wilayah ini. Bukan hanya korban tiada berdosa di kampung para perompak, tetapi juga segenap kampung tempat tiada seorang perompak pun bermukim di situ. Teluh ini membantai semua orang, tampaknya tepat sebelum aku tiba di sini. Tampaknya!

Saraha berkata:
ia yang tidak menikmati indera-indera dimurnikan,

dan hanya menjalankan Yang Dibatalkan,

seperti burung yang terbang dari sebuah kapal,

lantas berputar dan hinggap di sana lagi 1

Bulan sabit tertutup awan dan kini dunia menjadi hitam, hanya hitam, dan tiada lain selain hitam dalam kegelapan terkelam yang pernah ada di muka bumi. Di tepi sungai, aku berlutut dan kuperhatikan permukaan sungai untuk membaca pergerakan angin, dan setelah beberapa saat berlalu, aku merasa kecewa ketika merasa betapa tampaknya tidak ada sesuatu pun akan terjadi.

Namun mendadak kucabut pedang jian di punggungku, kusalurkan tenaga dalam dengan rapalan mantra yang masih kuingat dari himpunan mantra-mantra yang pernah disalurkan paksa ke dalam diriku oleh Raja Pembantai dari Selatan, karena aku merasakan datangnya suatu bahaya, yang tidak seperti biasanya, sebab tidak datang dari dunia persilatan, melainkan dunia para penyihir!

Aku mengenali firasat seperti ini dan tahu cara mengatasinya, ketika yang kurasa seperti bahaya itu menyekapku segeralah kugerakkan pedangku dengan Jurus Naga Membantai Bayangan Kosong. Sepintas lalu hanya kosong, gelap, dan sunyi, tetapi ketika pedang jian membabat dengan jurus bermantra itu bagai terpudarkan sesuatu yang tersembunyi, yang ketika tampak langsung sudah terbelah-belah, menggeliat-geliat dalam keadaan mengambang, dan tetap hidup!

Itulah yang tampak, sungguh tampak, bagaikan tiada lagi yang lebih tampak, meskipun pedangku sama sekali tidak menyentuh apa pun, karena memang bukan pedang yang telah mengenainya melainkan mantra itu. Betapapun keterbelahannya adalah karena adanya pedang yang seperti dapat membelah tanpa pernah mengenainya. Belahan yang menggeliat-geliat itu mengambang, terbang, lantas memercikkan keredap cahaya yang melesat dan menyambar.

Lebih cepat dari senjata rahasia tercepat, dengan bentuk antara kunang-kunang dan letik api, tetapi yang lebih muram kemerah-merahan, segalanya melesat me¬nuju diriku dari arah mana pun terdapat belahan itu. Apakah pembunuhan itu seperti tugas yang bisa diserahkan kepada segala sesuatu yang berbalut mantra? Aku hanya mengetahui betapa belahan yang menggeliat dan mengambang, terbang dan melesatkan keredap cahaya kemerahan untuk mematikan diriku itu hanya mungkin menjadi demikian karena terdapatnya suatu tujuan! Kugerakkan lagi pedangku. (bersambung)
________________________________________

1. Dari "Harta Karun Kuplet Berirama (Dohakosa)" Saraha dalam Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], Page-715. Saraha juga dikenal sebagai Sarahapa atau Sarahapada yang bernama asal Rahula atau Rahulbadhra, termasuk salah satu pendiri Buddha Vajrana, terutama dari tradisi Mahamudra. Dianggap hidup pada akhir abad ke-8.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PEMBUNUHAN SEBAGAI TUJUAN (SERI 257)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari