google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PERTARUNGAN DALAM HUJAN (SERI 253) | Silat Naga Jawa

PERTARUNGAN DALAM HUJAN (SERI 253)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

UNTUK beberapa saat aku masih melaju dengan kuda kosong tanpa penunggang di sampingku. Anak panah masih berhamburan dengan ketepatan terjamin ke arahku, yang membuatku masih harus terus mengobat-abitkan pedang jian ke kiri dan ke kanan melindungi tubuhku. Demikianlah aku membalikkan kudaku, tetapi dengan hujan dan petir meledak-ledak seperti itu, Panah Wangi dan pemitingnya yang tinggal memiliki lengan kiri yang digunakan untuk memiting itu hanya kadang tampak dan kadang menghilang.

"Panah Wangiiiiiiiiiiiiii!"

Aku berteriak agak panik, tetapi jangankan menolong, karena diriku sendiri pun tiba-tiba jatuh terbanting dari kuda, dan segera terseret jerat rantai yang mendadak saja sudah melibat tubuh dan mengunci kedua tanganku. Aku diseret dua ekor kuda di sebelah kiri dan kanan, tetapi karena kedua tanganku terikat jadi satu, tidak mungkinlah mereka membelah tubuhku dengan menariknya ke kiri dan ke kanan, sebagaimana mereka lakukan kepada orang hukuman atau musuh yang tertawan.

Kukerahkan tenaga dalam agar kulit pada dada dan perutku tidak terlalu lecet, dan tidak mengalami pendarahan yang tidak perlu, tetapi bajuku hancur lebur, karena jalan lajur cepat yang tanahnya dikeraskan itu juga amat sangat terlalu keras bagi busana kumalku nan sudah lama sekali tidak dicuci. Hujan tercurah semakin deras. Di jalur cepat, air mengalir seperti sungai, tetapi sungai yang sungguh amat sangat terlalu dangkal, sehingga betapapun sedikit banyak lebih dari meyakitkan. Apa yang dikehendaki para penyamun ini jika terhadap kami sudah jelas mereka sama sekali tidak menyamun?

Dalam seretan kuda, dengan tubuh yang terantuk-antuk tanah keras dalam kecepatan tinggi, di tengah teriakan para penyamun yang dengan kesetanan saling berebut ingin membunuhku, aku berusaha menengok ke arah Panah Wangi, tetapi tidak pernah berhasil. Bukan sekadar karena tirai hujan yang berlapis-lapis telah menciptakan kekelabuan tak tertembus, meski angin kencang telah melambai-lambaikan tirai itu, tetapi jika Panah Wangi jatuh dari kuda, sedangkan aku diseret dua ekor kuda dengan kecepatan tinggi, tentu sulitlah diriku sekadar mengetahui keadaannya saat ini.

Terbayang olehku bagaimana penyamun raksasa itu masih juga memiting leher Panah Wangi dengan tangan kirinya, dengan perasaan marah besar karena tangan kanannya mulai dari pangkal lengan telah dibabat putus oleh Panah Wangi, justru ketika ia sendiri sedang membacok Panah Wangi!

Mungkinkah Panah Wangi kini masih terpiting kuncian mati, sementara berpuluh-puluh penyamun berkuda mengerumuninya, menanti giliran untuk berbuat apa saja yang paling mungkin dilakukan terhadap Panah Wangi?

Meskipun aku sangat percaya dengan kemampuan Panah Wangi, perasaan khawatirku tidak dapat kuatasi. Dengan ilmu memberatkan tubuh, kedua kuda yang menyeretku tidak lagi sekadar tak kuat menyeret tubuhku, melainkan dengan serentak tersentak dan kedua kaki depannya terangkat ke atas, membuat kedua penunggangnya yang tidak menyangka pun jatuh terpelanting.

Dengan ilmu belut putih, jerat rantai pada tubuh dan tanganku melonggar, dan aku pun berkelebat menembus hujan yang kini telah semakin membadai, kembali ke tempat jatuhnya Panah Wangi. Ternyatalah bahwa sepanjang jalan menuju tempat jatuhnya Panah Wangi itu, pada setiap berapa langkah selalu terdapat seorang penyamun yang menyerangku dengan tingkat kepiawaian tinggi.

Semua ini berlangsung dengan sangat cepat, begitu cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat. Aku berkelebat, mereka berkelebat. Mereka berkelebat, aku pun berkelebat, meski dalam pandangan kecepatan tertinggi segalanya tampak begitu lambat, sangat lambat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih lambat, sehingga bahkan titik hujan bisa terlihat setiap titiknya melayang jatuh, begitu pelahan, sangat amat pelahan, seperti latihan untuk kematian.

Begitulah sepanjang jalur itu kuhadapi penyabet kelewang, penusuk tombak, pelecut cambuk, pelempar belati, dan penggebuk gada, yang dengan segala hormat terpaksa kudahului gerak senjatanya yang berusaha menghilangkan diriku dari dunia ini, yang berakibat dengan lepasnya nyawa mereka dari tubuhnya. Aku masih menyandang pedang jian milik kepala regu Pengawal Anggrek Merah itu, tetapi aku tidak menggunakannya. Setiap kali beradu cepat hanya kusentuh saja tangan, pundak, atau dahi mereka, sehingga rubuhlah mereka di tanah basah itu tanpa akan pernah bangun kembali. Namun ketika tiba di tempat, tidak kulihat lagi Panah Wangi! (bersambung)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERTARUNGAN DALAM HUJAN (SERI 253)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari