google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 DIBALIK BAYANGAN MAHARAJA (SERI 246) | Silat Naga Jawa

DIBALIK BAYANGAN MAHARAJA (SERI 246)


KLIK
pada gambar untuk membesarkan

MAHARAJA bayangan itu tampak siap dengan kedua pedang jian di tangannya ketika kami datang. Sekali tatap dapatlah kami ketahui betapa dirinya berasal dari sungai telaga dunia persilatan. Barangkali ia mengetahui dirinya sedang diikuti selama ini, barangkali ia tidak mengetahui dirinya sedang diikuti, tetapi apa yang kami saksikan menyatakan kepekaan tingkat pendekar dengan jelas. Bukankah ia menggerakkan kedua pedangnya ke belakang untuk memenggal leher kedua pembunuh bayaran itu tanpa menoleh?

Ketika kami tiba, kudanya baru saja menendang salah satu kepala itu ke tepi. Setiap kepala masih tertutup kerudung yang ikut terpotong, sehingga wajahnya tetap tidak
terlihat.

"Apakah kalian berdua juga dikirim untuk membunuhku? Menatap kalian sepintas saja aku tahu betapa ilmu silat masing-masing dari kalian berada jauh di atasku, tetapi ketahuilah betapa diriku tidak akan pernah menyerah."

Panah Wangi menghela napas panjang.

"Kami mengikuti jejakmu selama ini tidak untuk membunuhmu, wahai insan yang telah banyak berkorban demi negara, tetapi untuk menyelamatkanmu. Janganlah salah sangka," ujar Panah Wangi, "ternyata kamu lebih dari mampu menjaga dirimu sendiri."

Maharaja bayangan yang sudah turun dari kuda itu memicingkan matanya ketika menatap kami.

"Siapakah kalian? Tidak kulihat diri kalian berbusana sebagai hamba kerajaan, dan jika kalian adalah pengawal rahasia istana, sekarang ini harus kalian nyatakan."

"Ah, kami bukan siapa-siapa, bahkan diriku hanyalah seorang buronan saja."

Mata maharaja bayangan itu lebih terpicing lagi. Gerimis belum berhenti, sehingga Panah Wangi tidak membuka capingnya.

"Buronan? Kukira tidak banyak perempuan buronan, bahkan sekarang ini hanya satu," kata sang maharaja bayangan, "apakah kamu yang bernama Panah Wangi?"

    Panah Wangi hanya mengangkat sedikit capingnya.

"Ya, aku disebut Panah Wangi, dan siapakah dirimu, yang nyawanya telah selalu dipertaruhkan?"

"Akan kukatakan siapa diriku, tetapi siapakah temanmu, anak muda yang bercaping itu, dan mengapa pula ia tidak memperkenalkan dirinya?"

    Aku tertegun, bagaimanakah caranya aku memperkenalkan diriku?

"Aku bukan siapa-siapa Bapak, hanya seorang hina kelana yang bahkan nama pun tidak punya."

    Kini giliran maharaja bayangan itulah yang tertegun, tetapi akan tanggapan seperti itu, aku sudah terbiasa bukan? Aku pun melanjutkan, dan pilihanku adalah berterus terang.

"Namun kami sampai kemari, selain karena tak dapat membiarkan siapa pun diculik dan dianiaya, tidak lain dan tidak bukan, karena melacak jejak dan memburu siapa pun yang bisa disebut sebagai Harimau Perang."

Sun Tzu berkata:
perang melibatkan kehendak mendahului dan
penyerbuan musuh dari kedudukan yang lebih kuat 1

Gerimis akhirnya berhenti, tetapi langit tetap dipenuhi mendung bergulung-gulung, sehingga meskipun hari masih pagi kekelabuan merata sepanjang padang, memberikan suasana muram yang menekan. Betapapun kami merasa lega, karena meskipun usaha kami nyaris menemui kegagalan, maharaja bayangan bukan hanya mampu menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga bersikap ramah terhadap kami.

"Aku tidak akan mengatakan apa pun kepada kalian, jika kalian orang pemerintah," katanya ketika kami bertiga duduk di atas batu-batu besar di tepi sebuah anak sungai yang terdapat di dekat tempat itu. "Dan aku pun tahu jika kalian ingin mencelakakan diriku, mudahnya seperti membalik telapak tangan."

    Ternyata maharaja bayangan memiliki persediaan teh yang biasa dihidangkan di istana, kudanya pun dilengkapi peralatan memasak untuk prajurit yang mencukupi. Di depan api unggun yang juga mengeringkan baju, ia mengungkapkan siapa dirinya dan apa pun yang diketahuinya berhubungan dengan Harimau Perang.

"Aku sebetulnya bagian dari apa yang kalian sebut penjahat dari golongan hitam," katanya memulai cerita, "Apakah diriku memang jahat? Aku sendiri tidak tahu, tetapi penamaan golongan hitam tidak datang dari diri kami sendiri, melainkan dari mereka yang menamakan dirinya golongan putih. Ya, siapa pun yang pemikirannya tidak sejalan, bahkan bertentangan, mereka namakan golongan hitam..."

Namanya bukanlah nama besar, karena semula hanyalah seorang begal kecil, yang suka mencegat para pedagang kecil di celah sempit di antara dua dinding tebing di pegunungan dekat Kota Sha. Ia selalu menyerang dengan cepat, lantas menghilang, datang dari atas tebing dan hilang ke atas tebing. Seperti seekor bajing, ia pandai merayapi tebing seperti berlari di atas tanah, sehingga disebut Si Bajing Loncat.

"Apakah diriku memang penjahat jika tidak seorang pun pernah kubunuh," katanya.

Namun bukan kebaikannya yang telah menarik perhatian para pengawal rahasia, melainkan kemiripan wajah dan sosoknya dengan Maharaja Dezong! (Bersambung)
____________________________________________
1. Martina Sprague, Lessons in the Art of War (2011), h. 38.2

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DIBALIK BAYANGAN MAHARAJA (SERI 246)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari