google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PENYERGAPAN BERSAMA DATANGYA HUJAN (SERI 252) | Silat Naga Jawa

PENYERGAPAN BERSAMA DATANGYA HUJAN (SERI 252)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

DENGAN dugaan bahwa Harimau Perang masih berada di Chang'an, kami menempuh perjalanan kembali ke kotaraya itu, meski cuacanya cukup membingungkan. Antara matahari cerah dan langit mendung terlalu sering saling bertukar sepanjang hari, dan untunglah kami mulai terbiasa ketika pada suatu pagi berhujan dari arah belakang kami datanglah dua kelompok berkuda dari sebelah kiri dan kanan.

Meskipun bukan kuda tempur, tampaknya kuda pengantar surat tunggangan kami menangkap bahaya, dan segera melaju tanpa menunggu perintah lagi. Sepanjang jalur cepat mereka melaju seperti terbang, tetapi yang kuketahui tidak dalam waktu terlalu lama karena kami telah melakukan perjalanan berhari-hari. Sedangkan kuda para pengejar, 50 di sisi kanan dan 50 di sisi kiri, tampak segar bugar, dan tanpa kuketahui sebabnya seperti disiapkan untuk mencegat kami.

Kuda kami memang kemudian tersusul dan kedua barisan di sisi kiri dan kanan itu seperti berusaha menjepit kami. Di balik tirai hujan kulihat kelewang besar di tiap pinggang mereka, yang kukenali sebagai senjata yang biasa digunakan oleh para penyamun, meski tentu tidak harus berarti siapa pun yang menyandang kelewang adalah penyamun. Mengingat kami berada di jalur cepat, jika mereka memang penyamun, tidaklah semestinya mereka menyamun di tempat ini, yang merupakan lalu lintas pasukan tempur, petugas rahasia kerajaan, pengantar surat, dan segala macam hamba wet yang seharusnya dijauhi para penyamun.

Dari sisi kiri seseorang mendekati Panah Wangi yang memang berada di sisi kiriku, dan membacokkan kelewangnya dengan gwa-kang atau tenaga kasar yang sangat besar. Meskipun tenaga kasar adalah kasar, tetapi tenaga kasar yang besar adalah besar. Panah Wangi memilih untuk menghindar dengan cara memiringkan tubuh ke kanan daripada menangkisnya, tetapi tangan kirinya segera mencabut pedang jian dari punggungnya dan putuslah lengan yang membacok dengan kasar itu.

Di antara deru angin dan deras hujan yang kini mulai pula ditingkah keredap kilat dan ledakan halilintar, terdengar teriakan yang lebih menggambarkan kekecewaan daripada kesakitannya.

"Hwaaaaaaahhhhhh!!!"

Harus kukagumi semangat penyamun ini, jika mereka memang penyamun, ketika dengan lengan yang putus pada pangkalnya, ia tidak menjauh tetapi mendekatkan kudanya ke arah kuda yang ditunggangi Panah Wangi dan melompat berpindah ke sana! Dengan lengan tangan kirinya ia memiting leher Panah Wangi, menguncinya dengan jurus ilmu gulat yang tidak terpudarkan. Dalam hujan angin yang menggila dan kecepatan yang jelas melebihi kecepatan penceritaannya, aku pun tidak dapat mengikuti kerinciannya dengan cermat, apalagi menghalanginya.

Tubuh raksasa itu menempel seperti kepiting pada punggung Panah Wangi, yang di celah derasnya hujan tampak tercekik tanpa daya. Panah Wangi tidak bisa menggunakan pedang jian di tangan kirinya, karena sembarang mengayun pedang setajam itu, dalam pergulatan buas di atas kuda yang melaju di tengah hujan deras dengan kilat yang tiada henti-hentinya berkeredap seperti ini, akan sangat berbahaya untuk dirinya sendiri. Sementara aku pun jauh dari aman ketika dari sebelah kanan, saat semula aku merasa lega karena impitan barisan itu melonggar, ternyata mereka menjauh hanya agar bisa melepaskan ratusan anak panah untuk merajamku!

Ratusan anak panah bersuit-suit melesat di antara derasnya hujan ke arahku. Di tangan pemanah yang piawai, derasnya hujan tidak mempengaruhi lesatannya sama sekali, sehingga aku pun tidak bisa mengurangi apalagi menghentikan putaran pedang jian di tanganku yang berputar seperti baling-baling tercepat, sangat amat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat. Demikianlah di atas kuda kami yang melaju kami diserbu dari samping kiri dan samping kanan oleh barisan yang juga melaju sambil terus-menerus melepaskan anak panah, yang begitu pandai memainkan jarak, sehingga ketika mereka dapat berbuat apa pun, seolah kami tidak dapat berbuat apa pun kepada mereka.

Angin kencang menyapu hujan untuk sebagian membuat panah-panah itu berubah arahnya, tetapi sama sekali tidak mengurangi bahaya karena sebenarnyalah bukan hanya diriku yang sebetulnya kujaga, melainkan Panah Wangi yang belum bisa berbuat apa pun juga apabila terdapat anak panah yang bukan sekadar menyasar, tetapi yang justru dengan ketepatan luar biasa sengaja ditujukan kepadanya!

Aku masih memutar pedang jian seperti baling-baling menggiling serbuan ratusan anak panah yang datang beruntun itu, ketika kurang jelas bagiku apakah Panah Wangi jatuh atau menjatuhkan diri dari kuda, terguling-guling dengan penyamun bertubuh raksasa yang masih terus memitingnya! (bersambung)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENYERGAPAN BERSAMA DATANGYA HUJAN (SERI 252)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari