google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 ANTARA KEHORMATAN DAN KEHIDUPAN (SERI 242) | Silat Naga Jawa

ANTARA KEHORMATAN DAN KEHIDUPAN (SERI 242)


KLIK
pada gambar untuk membesarkan

SUASANA menjadi sedikit lebih tegang. Perjudian di mana pun biasanya mempertaruhkan uang, harta benda, senjata, dan juga kuda, tetapi bukan dirinya sendiri, kecuali dalam cerita Mahabharata. Setelah orang-orang di dalam kedai keluar, setidaknya terdapat 20 orang di gardu itu, cukup banyak untuk ukuran tempat terpencil yang hanya berangin, sangat amat berangin, dan tiada lain selain berangin dingin.

"Kami?" Panah Wangi menegaskan, "berapa orang?"

"Perempuan cantik, dengarkanlah baik-baik," ujar pengantar surat yang bermain sebagai bandar itu, sambil masih mengayun-ayunkan tangan yang berisi dadu. 

"Dua kuda itu dimiliki dua orang; jika kamu menang, kamu mendapat dua kuda tercepat; jika kamu kalah, dua pemilik kuda itu, salah satunya aku, berhak tidur dengan kamu di dalam kedai itu. Mau dan tidaknya terserah kamu, kami tidak memaksa, tetapi jika bersedia, semua orang di sini, termasuk temanmu itu, menjadi saksi pernyataan kita."

Panah Wangi memandangku. Dalam keadaan biasa kepala orang itu sudah terpenggal, tetapi cara Panah Wangi memandangku bukanlah seperti orang yang ingin memenggal kepala, karena dalam remang senja, dapatlah kulihat cahaya senyuman, meski sangat amat tersembunyi. Apakah yang sedang dipikirkannya?

"Sebelum aku katakan setuju atau tidak setuju, kuingin tahu mengapa pernyataan dan kesaksian itu begitu perlu?"

Pengantar surat yang menjadi bandar itu memperbaiki letak duduknya, seperti ingin menunjukkan betapa ia kini lebih bersungguh-sungguh.

"Aku tahu ini berat bagi kamu," katanya, "karena kamu tentu beranggapan seperti mempertaruhkan kehormatan; tetapi kuda cepat bagi seorang pengantar surat adalah kehidupannya, tanpa kuda cepat siapalah dia bukan? Mana yang lebih berat, kehilangan kehormatan atau kehilangan kehidupan?

"Pertaruhan kita sama berat, tetapi kulihat dirimu seorang penyoren pedang. Jika kamu kalah, sangat mudah mengingkarinya dengan membantai kami semua dalam satu kali gebrakan. Agak berbeda halnya jika kita mulai dengan pernyataan dan kesaksian, termasuk kesaksian kawanmu sesama penyoren pedang."

Panah Wangi tersenyum.

"Janganlah khawatir Kawan, jika kalah aku tidak akan mengingkari perjanjian, dan dunia boleh menjadi saksi bahwa aku wajib tidur dengan kalian berdua di kedai itu. Namun sebetulnya diriku sama sekali tidak khawatir, Kawan, karena aku tahu tidak akan kalah dalam perjudian ini."

Laozi berkata:

orang suci tidak memiliki hati sendiri;
orang suci menggunakan hati khalayak.
orang baik disetujuinya,
orang jahat juga disetujuinya,
dari sanalah ia mendapat kesuciannya.1

Aku tertegun mendengar percakapan ini. Apakah yang diandalkan Panah Wangi sehingga begitu yakin akan memenangkan perjudian, dengan pertaruhan yang begitu mengerikan seperti itu? Benarkah dia akan bersedia tidur dengan dua pengantar surat jika kalah, sesuai perjanjian, padahal apa pun yang terjadi hal itu tidak mungkin? 

    Panah Wangi selalu menghukum pemerkosa maupun calon pemerkosa dengan kejam, tidak mungkin ia menempatkan dirinya dalam keadaan tiada berdaya dengan sengaja. Drupadi dalam Mahabharata dipertaruh-kan secara paksa, tetapi Panah Wangi mempertaruhkan dirinya.

Apakah keberaniannya kali ini tidak terlalu riskan? Pertaruhan macam apakah kiranya itu, jika kalah harus tidur dengan dua pemilik kuda yang dipertaruhkan itu? Namun aku juga tahu, betapa kami mutlak membutuhkan dua kuda cepat pengantar surat, jika tidak ingin terlambat. Seseorang yang sedang berkuda lambat-lambat sungguh tidak tahu dirinya akan terbunuh setiap saat!

Mereka duduk berhadapan di atas bangku. Di antara keduanya terdapat meja rendah untuk permainan dadu. Terdapat dua dadu dan hanya sekali dadu-dadu itu akan dilempar. Dalam hal pesertanya orang banyak, begitu banyak kemungkinan penjumlahan, dari 2 sampai 12, lebih mungkin menghasilkan penebak yang beruntung daripada satu peserta yang hanya berkesempatan menebak satu kali.

"Panah Wangi, jadi itukah julukanmu?"

Panah Wangi mengangguk. Pengantar surat itu menyebutkan istilah penyoren pedang, tetapi jelas ia tidak mengenal dunia persilatan. Bahkan ia tidak sadar bahwa wajah dan nama Panah Wangi terdapat pada selebaran di dinding luar kedai. Mungkin saja pengantar surat itu buta huruf. Kemampuan membaca hanya diwajibkan bagi pegawai kerajaan.

"Dan kamu, yang tiada bernama, benarkah?"

"Ya, aku tidak memiliki nama," kataku.

"Juga semuanya, saksikan, aku Ang Yu, hanya akan melempar dadu ini satu kali, dan berapakah tebakanmu, Panah Wangi?"

Malam sudah turun. Obor dipasang agar meja tampak terang. Orang-orang tidak bersuara. Wajah Panah Wangi yang cantik tampak tegang.

"Dua belas," katanya.

Tentu Panah Wangi sudah gila! Mungkinkah suatu kebetulan dapat dipastikan bahwa kedua dadu yang dilempar itu akan berhenti dengan dua sisi enam titik berada di atas? (Bersambung)
_________________________________________________________________
1. Dari ayat ke-49 dalam Daodejing, melalui Arthur Waley, The Way and Its Power [1968 (1934)], halaman 202.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ANTARA KEHORMATAN DAN KEHIDUPAN (SERI 242)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari