google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 PERI BERBUSANA BHIKSUNI (SERI 265) | Silat Naga Jawa

PERI BERBUSANA BHIKSUNI (SERI 265)


KLIK pada gambar untuk membesarkan

PEREMPUAN bersuara halus dan merdu yang telah menghabisi riwayat Pengemis Tua Berjenggot Putih dan Selendang Setan dengan pukulan Telapak Darah itu bergerak. Namun ia bergerak untuk menjemput kematiannya.

Tiada kukira betapa busana perempuan itu ternyata adalah busana seorang bhiksuni. Hanya saja dia tidak berkepala gundul, bahkan sebaliknya berambut terurai panjang dan sudah putih warnanya. Di dadanya telapakku merona merah darah. Ia terkapar. Napasnya satu-satu menatapku.

"Terkabul juga keinginanku berkenalan dengan Jurus Tanpa Bentuk, meski harus kubayar dengan kematianku," ujarnya, nyaris terdengar seperti bisikan, "Memang benar bahwa aku adalah guru dari Lay I, putri Ular Sungai, adik tiri Selendang Setan, istri Pemuda Liu, yang tewas di tangan Pendekar Panah Wangi, dan dunia persilatan mengenalku sebagai Peri Baik dari Danau Qinghai. Sengaja tidak kuakui betapa diriku bukanlah penebar teluh itu, karena kutahu Pendekar Tanpa Nama tidak akan menempurku jika begitu. Sengaja pula tiada kusebut namaku karena kutahu apa yang telah sampai ke telinga Pendekar Tanpa Nama tidak akan membuatnya mengeluarkan Jurus Tanpa Bentuk yang telah menyempurnakanku. Terima kasih Pendekar, atas pertarungan ini."

Ia hampir pergi. Aku mendekat, memegang pergelangan tangannya, menyalurkan tenaga prana agar ia tetap bisa berbicara sebelum pergi dan tidak kembali.

"Peri yang Baik dari Danau Qinghai, aku mendengar dalam perbincangan dari kedai ke kedai, diri Puan adalah pendekar tak terkalahkan dan selalu membela mereka yang lemah dan tidak berdaya, adalah suatu kehormatan bertarung melawan Puan," kataku dengan pelan tetapi sangat jelas, ''Kini aku minta maaf untuk memohon diri Puan berbuat baik terakhir kalinya, siapakah kiranya iblis yang telah berbuat sekeji ini? Kukira Puan setuju betapa iblis itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."

Perempuan berambut putih panjang yang tampak begitu anggun dalam busana bhiksuni coklat yang kini bernoda muntahan darah, tampak jelas tanda Telapak Darah itu. Ia seperti mampu menahan lepasnya nyawa setelah mengucapkan kalimat berikut.

"Penyebar teluh telah kamu bunuh, tetapi tiada orang lain yang lebih bisa menggunakan tangan orang lain selain Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang ..."

Zhuang Zi berkata:
langit dan bumi hidup bersama denganku,

segala sesuatu bersambungan bersamaku 1

Peri Baik dari Danau Qinghai telah pergi, menyusul muridnya, Pemudi Lay I, yang tewas di tangan Panah Wangi. Masih belum jelas sebenarnya mengapa Pemudi Lay I yang telah ditolong semua orang itu mengamuk, mungkinkah karena telah dicuci otaknya oleh Pemuda Liu yang tidak kuketahui juga mengapa telah membalas air susu dengan air tuba.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Banyak orang mati, tetapi aku hanya menguburkan tiga orang. Pengemis Tua Berjenggot Putih, Selendang Setan, dan Peri Baik dari Danau Qinghai. Berbahagialah para pendekar yang mati sesuai dengan tujuannya, mati dalam pertarungan sebagai puncak kesempurnaan. Namun bagaimana dengan mereka, yang bahkan tiada tahu-menahu, betapa dunia persilatan itu ada? Orang-orang yang perjuangan hidupnya justru untuk bertahan hidup, bukan mencari kematian, apa pun makna kematian itu, yang bagiku tidak kalah menggetarkannya dengan tindak kepahlawanan macam apa pun.

Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang adalah orang yang paling sulit dicari, dan aku masih memburu Harimau Perang, sehingga kuteruskan perjalanan kembali ke Chang'an.

Dari atas bukit kupandang tempat persinggahan itu. Aku telah menyeberang dengan cara berenang, meskipun sebetulnya aku bisa saja berlari di atas air. Mungkin aku ingin menemani kudaku. Kurasa sungai yang lebar dan deras ini cukup berat diseberangi seekor kuda yang dilahirkan untuk berlari dan bukan berenang.

Sebetulnya aku ingin beristirahat di tempat persinggahan itu, karena aku selalu suka mendengar kericik air sungai di tepian, memperhatikan permukaannya yang seperti bergerak lambat, menyembunyikan kederasan tiada terduga di baliknya. Bahkan sekarang pun, dari atas bukit ini permukaannya bercahaya keemasan. Namun dengan bayangan mayat-mayat mengambang itu aku tak bisa lebih lama lagi berada di sana.

Segera kubalikkan kudaku dan kami pun melaju. Kini di hadapanku awan mendung bergulung-gulung dan segera pula mengirimkan hujan. Dari atas bukit segera aku turun dan masuk ke jalur cepat serta menderap semakin laju. Dari arah depan kadang-kadang para pengantar surat menderap satu per satu, seperti surat yang satu segera disusul oleh surat yang lain. Sementara dari belakangku sudah beberapa kali kuberi jalan para pengantar surat yang berpacu dengan waktu. Wajah para pengantar surat itu tampak tegang. Apakah yang sedang terjadi? (bersambung)
________________________________________
1. Wen Haiming, Chinese Philosophy (2010), Page-50.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERI BERBUSANA BHIKSUNI (SERI 265)"

Post a Comment

pembaca yang bijak, selalu menggunakan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.

Translate

Cari